Translate

27 Apr 2014

Kebaikan-Mu

Tuhan, mengingat segala
Yang telah terjadi dalam hidupku
Membuatku menyadari betapa baiknya Engkau
Mujizat demi mujizat telah terjadi dalam hidupku
Mengingat semua yang telah Kau buat dalam hidupku
Tanpa kusadari air mata mulai mengalir di pipiku.
Dengan apa harus kubalas kasih-Mu yang begitu besar?
Hanya satu yang bisa ku lakukan, memberikan hidupku
Menjadi milikMu, menjadi saksi bagi kemuliaan namaMu.
Aku selalu terharu membayangkan kasihMu
Yang begitu menakjubkan padaku....
Tuhan Yesus, Engkaulah yang terbaik dalam hidupku.

17 Apr 2014

Kemenangan Akhir Bab 14 PARA PEMBAHARU INGGERIS YANG MUNCUL KEMUDIAN


Sementara Luther telah membuka Alkitab yang tertutup bagi orang Jerman, Tyndale telah didorong oleh Roh Allah untuk melakukan hal yang sama bagi orang Inggeris. Alkitab Wycliffe telah diterjemahkan dari bahasa Latin, yang berisi banyak kesalahan. Buku itu tidak pernah dicetak, dan harga naskah-naskahnya sangat mahal, sehingga hanya sedikit orang-orang kaya atau bangsawan yang dapat memilikinya. Lebih jauh, sirkulasi peredarannya terbatas, karena dilarang oleh gereja. Pada tahun 1516, setahun sebelum munculnya tesis Luther, Erasmus telah menerbitkan Perjanjian Baru edisi Yunani dan Latin. Sekarang untuk pertama alinya firman Allah dicetak dalam bahasa aslinya Dalam cetakan ini kesalahan-kesalahan yang banyak terdapat pada versi-versi sebelumnya diperbaiki, dan artinya lebih diperjelas. Buku ini menuntun golongan kaum terpelajar untuk mengetahui kebenaran itu lebih baik, dan memberikan dorongan baru bagi pekerjaan pembaharuan. Tetapi orang-orang biasa masih terhalang dari firman Allah. Tyndale meneruskan usaha Wycliffe untuk memberikan Alkitab kepada bangsanya.
Sebagi seorang mahasiswa dan pencari kebenaran yang sungguh-sungguh, ia telah menerima Injil dari buku Perjanjian Baru bahasa Jerman, terjemahan Erasmus. Ia mengkhotbahkan keyakinannya tanpa takut, dan mengajak agar semua doktrin diuji dengan Alkitab. Terhadap tuntutan pengikut paus yang mengatakatn bahwa gereja telah memberikan Alkitab dan gereja sendirilah yang boleh menerangkannya, Tyndale memberikan tanggapannya, "Tahukah kamu siapa yang mengajar burung elang menemukan mangsanya? Ya, Allah yang sama mengajar anak-anak-Nya yang lapar untuk menemukan Bapa mereka di dalam Firman-Nya. Alkitab tidak pernah diberikan kepada kami, bahkan kamu sendirilah yang telah menyembunyikan Alkitab itu dari kami. Kamulah yang membakar mereka yang mengajarkannya, dan kalau kamu dapat, kamu akan membakar Alkitab itu sendiri." -- D'Aubigne, b. 18, ch. 4.
Penajaran Tyndale membangkitkan minat besar orang-orang. Banyak yang menerima kebenaran. Tetapi imam-imam berjaga-jaga. Segera setelah Tyndale meninggalkan tempat itu, mereka berusaha memusnahkan pekerjaan itu dengan ancaman-ancaman dan tafsiran-tafsiran yang salah. Sering-sering mereka berhasil. "Apakah yang harus dilakukan?" serunya. "Sementara saya menabur di suatu tempat, musuh-musuh merusakkan ladang-ladang yang baru saja saya tinggalkan. Saya tidak bisa berada dimana-mana. Oh, jika seandainya orang-orang Kristen memiliki Alkitab dalam bahasanya sendiri, mereka akan dapat bertahan terhadap pemutar-balikan ini. Tanpa Alkitab tidak mungkin memantapkan anggota awam dalam kebenaran." -- Idem, b. 6, ch. 4.
Sekarang ia mempunyai gagasan baru dalam pikirannya. "Nyanyian mazmur dinyanyikan di kaabah Yehovah dalam bahasa Israel", katanya. "Bukankah seharusnya kabar Injil itu disampaikan dalam bahasa Inggeris di lingkungan kita sendiri? . . . Haruskah gereja mempunyai terang yang kurang di tengah hari daripada waktu fajar? . . . Orang-orang Kisten harus membaca Alkitab Perjanjian Baru dalam bahasa mereka sendiri." Para doktor dan guru gereja saling tidak setuju. Hanya oleh Alktab orang-orang sampai kepada kebenaran. "Seorang berpegang kepada doktor ini, yang lain kepada yang itu . . . . Sekarang masing-masing pengarang saling bertentangan. Jadi, bgaimanakah kita bisa membedakan dia yang mengatakan benar dari dia yang mengatakan salah? . . . Bagaimana? . . . Sesungguhnya hanya oleh firman Allah." -- Idem, b. 18, ch. 4.
Tidak lama sesudah itu seorang doktor Katolik yang terlibat suatu pertentangan dengan Tyndale, berseru, "Lebih baik kita tanpa hukum Allah daripada tanpa hukum paus." Tyndale menjawab, "Saya menentang paus dan semua hukum-hukumnya. Dan jikalau Allah memelihara hidupku, dalam beberapa tahun saya akan membuat seorang anak yang kerjanya membajak mengerti lebih banyak Alkitab daripada kamu." -- Anderson, "Annals of English Bible," p. 19, (rev. ed. 1862).
Tujuan untuk memberikan Perjanjian Baru kepada rakyat dalam bahasa mereka sendiri, sekarang sudah dipastikan. Ia segera bekerja. Ia pergi ke London, karena diusir oleh penganiayaan dari musuh-musuhnya. Dan di sini untuk sementara ia melakukan tugasnya tanpa gangguan. Tetapi sekali lagi, kekuasaan para pengikut paus memaksanya melarikan diri. Kelihatannya seluruh Inggeris tertutup baginya. Ia memutuskan untuk mencari perlindungan di Jerman. Di sini ia mulai mencetak Alkitab Perjanjian Baru bahasa Inggeris. Dua kali pekerjaan itu dihentikan. Tetapi bilamana dilarang mencetak di suatu kota, ia pergi ke kota lain. Akhirnya ia pergi ke Worms, dimana beberapa tahun sebelumnya, Luther mempertahankan kabar Injil dihadapan Mahkamah (Diet). Dalam kota lama ini banyak sahabat-sahabat Pembaharuan, dan di sini Tyndale meneruskan pekerjaannya tanpa hambatatan lebih jauh. Tiga ribu buah Alkitab Perjanjian Baru segera diselesaikan, dan edisi lain menyusul pada tahun itu juga.
Dengan kesungguh-sungguhan yang besar dan kesabaran, ia meneruskan pekerjaannya. Walaupun penguasa Inggeris telah mengawasi pelabuhan-pelabuhannya dengan ketat, firman Allah dikirimkan ke London dengan berbagai cara rahasia dan disebarkan di seluruh negeri. Para pengikut paus berusaha menindas kebenaran itu, tetapi sia-sia saja. Uskup dari Durham pada suatu waktu membeli seluruh Alkitab dari seorang penjual buku, yang adalah teman Tyndale, dengan maksud untuk membinasakan Alkitab tersebut. Dengan demikian ia mengira dapat menghalangi pekerjaan penyebaran kebenaran itu. Tetapi sebaliknya, uang yang diperoleh digunakan untuk membeli bahan untuk mencetak edisi baru dan yang lebih baik, yang tanpa uang itu tak mungkin bisa diterbitkan. Pada waktu kemudian Tyndale ditahan, ia boleh dibebaskan dengan satu syarat bahwa ia harus memberitahukan nama-nama orang yang telah menolongnya membiayai pencetakan Alkitabnya. Ia mengatakan bahwa uskup dari Durham telah membantu melebihi dari orang-orang lain, karena dengan membeli seluruh stok buku-buku yang tersisa telah menyanggupkannya meneruskan pencetakan itu.
Tyndale dikhianati dan diserahkan ke tangan musuh-musuhnya, dan pada suatu ketika dipenjarakan selama delapan bulan. Akhirnya ia menyaksikan imannya dengan mati syahid. Tetapi senjata yang telah disediakannya telah menyanggupkan para pejuang lain meneruskan perjuangan sepanjang abad-abad berikutnya, bahkan sampai ke zaman kita.
Latimer mempertahankan dari mimbar bahwa Alkitab harus dapat dibaca orang-orang dalam bahasanya sendiri. "Pengarang Alkitab yang suci itu," katanya, "adalah Allah sendiri," dan Alkitab itu memiliki kuasa dan keabadian Pengarangnya. "Semua raja, kaisar, hakim dan penguasa . . . harus menuruti . . . firman-Nya yang kudus." Janganlah kita menyimpang, biarlah firman Allah menuntun kita. Janganlah kita mengikuti . . . nenek moyang kita, atau melakukan apa yang telah mereka lakukan, tetapi melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan." -- Latimer, "First Sermon Preached before King Edward VI." (ed. Parker Sciety).
Barnes dan Frith sahabat-sahabat setia Tyndale, bangkit mempertahankan kebenaran. Diikuti oleh keluarga Ridley dan Cranmer. Pemimpin-peimpin Pembaharuan Inggeris ini adalah orang-orang terpelajar, dan kebanyakan mereka sangat dihormati oleh karena semangat dan kesalehan mereka dalam persekutuan Romawi. Mereka menentang kepausan oleh karena mengetahui kesalahan-kesalahan "bapa suci," Sri Paus. Pengetahuan mereka mengenai rahasia-rahasia Baylon memberikan kuasa yang lebih besar kepada kesaksian mereka menentangnya.
"Sekarang saya mau menanyakan pertanyaan aneh," kata Latimer. "Siapakah uskup dan pejabat tinggi gereja yang paling rajin di Inggeris? . . . Saya melihat Anda mendengarkan dan memperhatikan, mengharapkan saya menyebutkan namanya, . . . Saya akan katakan kepadamu, dia adalah Setan. . . . Ia tidak pernah keluar dari daerah keuskupannya; . . . panggillah dia bilamana engkau mau, ia selalu ada di rumah; . . . ia selalu membajak, . . . Engkau tidak akan pernah melihat dia bermalas-malas, saya jamin . . . . Dimana Setan itu tinggal, . . . di sana buku-buku disingkirkan dan lilin-lilin dinyalakan. Alkitab disingkirkan, dan tasbih atau manik-manik dihitung. Terang kabar Injil disingkirkan, dan lilin-lilin dinyalakan, ya, pada tengah hari; . . . salib Kristus dirubuhkan, dan dompet api penyucian ditinggikan. Tidak perlu memberi pakaian kepada orang yang bertelanjang, orang yang miskin dan yang lemah, tetapi mendirikan patung-patung dan menghiasi gemerlapan kaus kaki dengan batu-batu berharga. Meninggikan tradisi-tradisi mausia dan hukum-hukumnya. Tetapi merendahkan tradisi Allah dan firman-Nya yang Mahakudus. . . . Oh, kalau saja pejabat-pejabat tinggi gereja kita menaburkan bibit doktrin yang baik serajin Setan menaburkan kerang dan lalang!" -- Latimer, "Sermon of the Plough,"
Prinsip agung yang dipertahankan oleh para Pembaharu ini ialah wewenang Alkitab yang tidak bisa salah sebagai ukuran iman dan perbuatan, sebagaimana yang juga dipegang oleh orang-orang Waldenses, oleh Wycliffe, John Huss, Luther, Zwingle dan orangoranga yang bergabung dengan mereka. Mereka menolak hak paus, konsili, Paters, dan raja-raja, untuk mengendalikan hati nurani dalam masalah-masalah agama. Alkitab adalah otoritas mereka, dan dengan pengajarannya mereka menguji semua doktrin dan tuntutan. Percaya pada Allah dan firman-Nya memelihara orang-orang saleh ini pada waktu mereka menyerahkan hidup mereka di tiang pembakaran. 'Terhiburlah," seru Latimer kepada rekan-rekan syuhadanya sementara api sudah hampir membungkan suara mereka, "karena pada hari ini kita menyalakan lilin di Inggeris, oleh kasih karunia Allah yang saya yakin tidak akan pernah bisa dipadamkan." -- "Works of Hugh Latimer," Vol. I, p. xiii (ed. Parker Society).
Dis Scotlandia bibit kebenaran yang ditaburkan oleh Columba dan rekan sekerjanya tidak pernah seluruhnya dibinasakan. Ratusan tahun sesudah gereja-gereja Inggeris menyerah kepada kekuasaan Roma, gereja-gereja di Scotlandia tetap mempertahankan kemerdekaan. Namun, pada abad ke dua belas, kepausan berdiri disini, dan menjalankan kekuasaan sewenang-wenang yang lebih dibandingkan di negara-negara lain. Dimana-mana keadaan semakin gelap. Tetapi masih ada seberkas sinar terang yang menembusi kekelaman, yang menjanjikan fajar yang akan menyingsing. Keluarga Lollards yang datang dari Inggeris dengan Alkitab dan ajaran-ajaran Wycliffe, berbuat banyak untuk memelihara pengetahuan akan kabar Injil. Dan pada setiap zaman mempunyai para saksinya dan para syuhadanya.
Dengan dimulainya Pembaharuan Besar, datanglah tulisan-tulisan Luther dan Alkitab Perjanjian Baru bahasa Inggeris Tyndale. Tanpa disadari oleh hirarki, jurukabar-jurukabar ini menjelajahi bukit-bukit dan lembah-lembah, menyalakan kembali obor kebenaran yang hampir padam di Skotlandia, dan meruntuhkan pekerjaan yang telah dilakukan oleh Roma selama empat abad penindasan.
Kemudin darah para syuhada itu memberikan dorongan segar kepada pergerakan. Para pemimpin pengikut kepausan, tiba-tiba bangkit karena menyadari bahaya yang mengancam kepentingan mereka, dan membawa ke tiang pembakaran putra-putra terbaik dan terhormat Skotlandia. Mereka mendirikan mimbar, dari mana kata-kata perpisahan para saksi yang mau mati ini diperdengarkan ke seluruh megeri, menggetarkan jiwa orang-orang dengan tujuan yang tidak pernah mati untuk melepaskan belenggu Roma.
Hamilton dan Wishart, yang mempunyai tabiat dan kelahiran bangsawan, dengan barisan panjang murid-murid yang lebih sederhana, menyerahkan hidup mereka di tiang pembakaran. Tetapi dari api yang berkobar-kobar membakar Wishart muncul seorang yang tidak bisa didiamkan oleh nyala api, seorang yang dengan pertolongan Allah memukul lonceng kematian kepausan di Skotlandia.
John Knox telah beralih dari tradisi dan ketakhyulan gereja dan mengecap kebenaran firmn Allah. Dan ajaran Wishart telah memastikan keputusannya untuk memutuskan persekutuannya dengan Roma, dan menggabungkan diri dengan para Pembaharu yang dianiaya itu.
Ia dibujuk oleh sahabat-sahabatnya untuk menjadi seorang pengkhotbah, tetapi ia menolak dengan takut, mengingat akan tanggungjawabnya. Hanya setelah menyendiri beberapa hari dan bergumul keras dengan dirinya sendiri ia akhirnya setuju. Tetapi sekali ia menerima jabatan itu, ia maju terus dengan tekad yang tidak goyah dan keberanian yang tidak gentar sepanjang umur hidupnya. Pembaharu yang berhati jujur ini tidak takut kepada manusia. Api mati syahid yang berkobar disekitarnya hanya untuk membangkitkan semangatnya untuk bekerja dengan lebih intensif. Dengan kampak kelaliman mengancam di atas kepalanya, ia berdiri teguh memukul dengan kuat ke kiri dan ke kanan untuk menghancurkan penyembahan berhala.
Ketika ia dibawa berhadapan muka dengan muka dengan ratu Skotlandia, John Knox memberikan kesaksian mengenai kebenaran dengan gagah berani. Di hadapan ratu Skotlandia banyaklah pemimpin Protestan yang kalah semangat. Ia tidak bisa dimenangkan dengan bujuk rayu, ia tidak takut ancaman-ancaman. Ratu menuduhnya dengan tuduhan bida'ah. Ia telah mengajar orang-orang menerima agama yang dilarang oleh negara, kata ratu, dan dengan demikian melanggar perintah Allah yang menyuruh rakyat menuruti raja. Knox menjawab dengan tegas,
"Oleh karena agama yang benar tidak mendapatkan kekuatan azasinya atau wewenangnya dari raja-raja dunia, tetapi hanya dari Allah yang kekal, maka rakyat tidak terikat untuk menjalankan agamanya sesuai dengan selera raja mereka. Karena sering bahwa rajalah yang paling bodoh dari semua orang mengenai agama Allah yang benar . . . . Jika semua benih Abraham menuruti agama Firaun, yang telah lama memerintah mereka, saya memohon, Sri Ratu, agama apakah yang akan ada di atas dunia ini? Atau jikalau semua manusia pada zaman rasul-rasul menuruti agama kaisar-kaisar Roma, agama apakah yang akan terdapat di muka bumi ini? . . . Jadi, Sri Ratu dapat melihat, bahwa rakyat tidak terikat kepada agama raja-raja mereka, walaupun mereka diperintahkan untuk menuruti raja-raja mereka."
Ratu Mary berkata, "Engkau menafsirkan Alkitab itu dalam satu cara, dan mereka [guru-guru Katolik Roma] menafsirkannya dengan cara yang lain, siapakah yang saya harus percaya, dan siapakah yang menjadi hakim?"
"Sri Ratu harus percaya kepada Allah, yang berbicara dengan jelas di dalam firman-Nya," jawab Pembaharu itu, "dan lebih jauh dari pada yang diajarkan oleh Firman itu kepadamu, engkau tidak boleh mempercayai baik yang satu maupun yang lainnya. Firman Allah itu sendiri cukup jelas, dan jikalau ada muncul yang tidak jelas di suatu tempat, Roh Suci, yang tidak pernah bertentangan dengan Allah, menerangkan dengan lebih jelas di tempat lain, sehingga tidak ada lagi keragu-raguan, kecuali kepada mereka yang keras kepala tetap tidak mau perduli." -- Laing, "Works of John Knox," Vol. II, pp. 281, 284 (ed. 1895).
Itulah kebenaran yang dikatakan oleh Pembaharu yang berani itu, ke telinga keluarga kerajaan, pada saat bahaya mengancam hidupnya. Dengan keberanian yang tidak mengenal gentar seperti itu ia tetap pada maksudnya, berdoa dan berjuang dalam peperangan Tuhan, sampai Skotlandia bebas dari kepausan.
Di Inggeris penetapan Protestantisme sebagai agama nasional, mengurangi penganiayaan, tetapi tidak seluruhnya berhenti. Walaupun banyak doktrin Roma yang telah ditinggalkan, tetapi tidak sedikit yang masih terus dipertahankan. Supremasi paus ditolak, tetapi sebagai gantinya raja dinobatkan sebagai kepala gereja. Dalam upacara gereja masih terdapat penyimpangan dari kemurnian kesederhanaan Injil. Prinsip utama kebebasan beragama belum dimengerti. Walaupun kekejaman yang mengerikan yang dilakukan oleh Roma kepada para bida'ah tidak dilakukan atau jarang dilakukan oleh penguasa-penguasa Protestan, namun hak setiap orang untuk menyembah Allah sesuai dengan bisikan hati nuraninya belum sepenuhnya diakui. Semuanya diharuskan menerima doktrin-doktrin dan melakukan bentuk-bentuk perbaktian yang ditetapkan oleh gereja yang sudah ada. Orang yang tidak setuju menderita penganiayaan, sedikit banyaknya, selama ratusan tahun.
Pada abad ke tujuh belas, ribuan orang pendeta dipecat dari jabatan mereka. Orang-orang dilarang menghadiri sesuatu perkumpulan agama kecuali yang sudah ditentukan oleh gereja. Pelanggaran kepada ketentuan itu diancam dengan denda yang berat, hukuman penjara dan pembuangan. Jiwa-jiwa yang setia, yang tidak bisa berhenti berkumpul berbakti kepada Allah, terpaksa bertemu di gang-gang sempit yang gelap, di loteng-loteng yang tersembunyi, dan pada musim-musim tertentu, di hutan pada waktu tengah malam. Di tempat perlindungan di hutan lebat, kaabah Allah yang didirikan-Nya sediri, anak-anak Tuhan yang tercerai berai dan dianaiaya itu berkumpul untuk mencurahkan isi jiwa mereka di dalam doa dan puji-pujian. Tetapi sekalipun mereka waspada dan berjaga-jaga, banyak juga yang menderita karena iman mereka. Kamar-kamar penjara penuh sesak. Keluarga-keluaga terpecah-pecah. Banyak yang diasingkan ke negeri asing. Namun, Allah menyertai umat-Nya, dan penganiayaan tidak akan berhasil mendiamkan kesaksian mereka. Banyak yang diusir menyeberangi laut ke Amerika. Dan di sini diletakkanlah dasar kebebasan sipil dan kebebasan beragama, yang telah menjadi benteng dan kemuliaan negeri ini.
Sekali lagi, sebagaimana pada zaman rasul-rasul, penganiayaan berubah menjadi kemajuan dan peningkatan kabar Injil. Dalam sebuah penjara bawah yang sangat menjijikkan, yang dipenuhi oleh orang-orang yang tidak bermoral dan penjahat, John Bunyan bernafaskan suasana Surga. Di sana ia menulis cerita kiasannya yang ajaib mengenai perjalanan para musafir dari tanah kebinasaan ke kota Surgawi yang mulia. Selama lebih dari dua ratus tahun suara dari penjara Bedford itu telah berbicara dengan kuasa yang luar biasa kepada hati orang-orang. Buku Bunyan, "Pilgrim's Progress" dan "Grace Abounding to the Chief of Sinners" telah menuntun langkah banyak orang kepada jalan kehidupan.
Baxter, Flavel, Alleine, dan orang-orang berbakat lainnya, yang berpendidikn dan mempunyai pengalaman Kristen yang mendalam, berdiri teguh untuk mempertahankan iman yang pernah disampaikan kepada orang-orang kudus. Pekerjaan yang dicapai orang-orang ini, meskipun dilarang dan diharamkan oleh penguasa-penguasa dunia, tidak pernah binasa. Buku tulisan Flavel, "Fountain of Life," dan "Method of Grace" telah mengajar ribuan orang bagaimana mempertahankan pemeliharaan jiwa mereka kepada Kristus. Buku karangan Baxter, "Reformed Pastor" telah terbukti menjadi berkat bagi banyak orang yang rindu kepada kebangunan pekerjaan Allah, dan bukunya, "Saint's Everlasting Rest" telah menuntun jiwa-jiwa kepada "perhentian yang menanti umat Allah."
Seratus tahun kemudian pada hari kegelapan rohani yang besar, Whitefield dan Wesley bersaudara muncul sebagai pembawa-pembawa terang bagi Allah. Di bawah pemerintahan gereja yang sudah berdiri, rakyat Inggeris telah kembali kepada keadaan kemunduran keagamaan yang sulit dibedakan dari kekafiran. Agama alamiah adalah pelajaran yang paling disukai oleh para ulama, dan dimasukkan menjadi bagian terbesar dari teologia mereka. Golongan-golongan masyarakat yang lebih tinggi mencemoohkan kesalehan, dan meyombongkan diri berada di atas apa yang dinamakan kefanatikan. Golongan-golongan yang lebih rendah kebanyakan bersikap masa bodoh dan menyerah kepada kejahatan, sementara gereja tidak lagi mempunyai keberanian atau keyakinan untuk mendukung kepentingan kebenaran yang telah jatuh itu.
Doktrin agung pembenaran oleh iman, yang begitu jelas diajarkan oleh Luther, sudah hampir seluruhnya tidak tampak lagi, dan prinsip Romawi yang mempercayai pekerjaan-pekerjaan baik untuk keselmatan sudah menggantikannya. Whitefield dan Keluarga Wesley, yang menjadi anggota gereja yang sudah berdiri, adalah orang-orang yang sungguh-sungguh mencari kehendak Allah. Dan seperti yang diajarkan kepada mereka, harus diperoleh melalui kehidupan yang saleh dan penurutan kepada peraturan-peraturan agama.
Bilamana Charles Wesley, pada suatu waktu jatuh sakit, dan diperkirakan akan meninggal, ia ditanya di atas dasar apa pengharapan hidup kekalnya diletakkan. Jawabnya ialah, "Saya telah berusaha sebaik-baiknya melayani Allah." Oleh karena teman yang menanyakan pertanyaan itu tampaknya tidak puas, Wesley berpikir, "Apa! apakah usaha saya itu bukan suatu landasan pengaharapn yang cukup? Apakah usaha saya itu sia-sia? Tak ada lagi yang saya percayai." -- Whitehead, John, "Life of the Rev. Charles Wesley," p. 102 (2d Am. ed. 1845). Demikianlah kegelapan pekat yang telah menutupi gereja, yang menyembunyikan penyucian, merampok Kristus dari kemulian-Nya, mengalihkan pikiran manusia dari pengharapan keselamatan satu-satunya, -- darah Penebus yang telah disalibka itu.
Wesley dan rekan-rekannya telah dituntun untuk melihat bahwa agama yang benar ada di dalam hati, dan bahwa hukum Allah mencakup pikiran serta perkataan dan tindakan. Setelah diyakinkan oleh perlunya kesucian hati serta tepatnya tingkah laku luar, mereka bertekad menghidupkan suatu hidup baru. Dengan usaha dan doa yang tekun mereka berusaha menundukkan kejahatan hati alamiah. Mereka menghidupkan suatu kehidupan penyangkalan diri, kedermawanan dan kerendahan hati, menuruti dengan seksama setiap peraturan yang mereka anggap dapat menolong mereka untuk memperoleh apa yang paling mereka rindukan, yaitu kesucian, yang berkenan kepada Allah. Namun, sia-sia usaha mereka untuk membebaskan mereka dari hukuman dosa atau menghancurkan kuasa dosa itu. Pergumulan yang sama seperti itulah yang dialami Luther di selnya di Erfurt. Pertanyaan yang sama itulah yang telah menyiksa jiwanya -- "Masakan manusia benar dihadapan Allah" ( Ayub 9:2).
Api kebenaran ilahi yang hampir padam di atas mezbah Protestantisme, akan dinyalakan kembali dari obor terdahulu yang diteruskan sepanjang zaman oleh orang-orang Kristen Bohemia. Sesudah Pembaharuan, Prostestantisme di Bohemia telah diinjak-injak oleh sekelompok orang-orang Roma. Semua orang yang menolak meninggalkan kebenaran dipaksa untuk melarikan diri. Beberapa dari mereka mendapat perlindungan di Saxony, dimana mereka meneruskan memelihara imannya yang dahulu itu. Dari keturunan orang-orang Kristen inilah terang kebenaran datang kepada Wesley dan rekan-rekannya.
John dan Charles Wesley, setelah diurapi kepada kependetaan, telah dikirim dalam sebuah misi ke Amerika. Di dalam kapal ada serombongan orang-orang Moravia. Dalam pelayaran itu mereka dipukul oleh angin topan, dan John Wesley, yang berhadapan muka dengan muka dengan kematian, merasa bahwa ia tidak mempunyai jaminan kedamaian dengan Allah. Orang-orang Jerman itu -- orang-orang Moravia -- sebaliknya menunjukkan ketenangan dan pengharapan, yang bagi Wesley hal itu masih asing.
"Sudah sejak lama," katanya, "saya memperhatikan kesungguh-sungguhan tabiat mereka. Mereka telah membuktikan secara terus menerus kerendahan hati mereka oleh melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada penumpang-penumpang lainnya, yang tak seorang orang Inggerispun akan mau melakukannya. Untuk pelayanan ini mereka tidak menerima pembayaran. Mereka mengatakan adalah baik bagi hati mereka yang sombong, dan bagi Juru Selamat yang telah berbuat lebih banyak bagi mereka. Dan setiap hari ada saja kesempatan untuk menunjukkan kelemah-lembutan dan kesabaran mereka, yang tidak bisa dipengaruhi oleh sesuatu gangguan. Jika mereka terdorong, terpukul atau terpelanting, mereka bangkit kembali dan pergi berlalu. Tidak ada keluhan dari mulut mereka. Sekarang ada kesempatan untuk mencobai apakah mereka telah terlepas dari ketakutan serta kesombongan, angkara murka dan balas dendam. Di tengah-tengah suasana menyanyikan lagu pujian pada awal acara dimulai, lautan kembali bergelora, merobek layar utama dan menutupi kapal. Air tercurah ke atas geladak kapal seolah-olah lautan yang dalam telah menelan kami semua. Jeritan yang mengerikan terdengar dari antara orang-orang Inggeris. Orang-orang Jerman dengan tenang terus menyanyi. Setelah kejadian itu saya bertanya kepada seorang dari mereka, 'Apakah engkau tidak takut?' Ia menjawab, 'Terimakasih kepada Tuhan, tidak.' Saya bertanya lebih lanjut, 'Tetapi, apakah wanita-wanita dan anak-anakmu takut?' Ia menjawab dengan lembut, 'Tidak. Wanita-wanita dan anak-anak kami tidak takut mati.'" -- Whitehead, "Life of the Rev. John Wesley," p. 10 (Am. ed. 1845).
Setelah tiba di Savannah, Wesley untuk sementara tinggal bersama orang-orang Moravia itu, dan sangat terkesan dengan tingkah laku Kristen mereka. Mengenai salah satu upacara keagamaan mereka, yang sangat bertentangan dengan formalitas yang tidak hidup Gereja Inggeris, ia menulis, "Kesederhanaan dan kekhidmatan semuanya hampir membuat saya lupa bahwa 1700 tahun sudah berlalu, dan membayangkan diri saya dalam salah satu perkumpulan dimana tidak ada formalitas dan rumusan. Tetapi Rasul Paulus, pembuat tenda, atau Rasul Petrus, si nelayan, yang memimpin acara; namun dengan peragaan Roh dan kuasa." -- Idem, pp. 11-12.
Pada waktu ia kembali ke Inggeris, atas petunjuk seorang pengkhotbah Moravia, Wesley tiba pada suatu pengertian yang lebih jelas mengenai iman Alkitab. Ia yakin bahwa ia harus membuangkan semua ketergantungannya kepada perbuatannya untuk memperoleh keselamatan, dan harus percaya sepenuhnya kepada "Anak Domba Allah yang mengangkut dosa isi dunia ini." Pada suatu pertemuan masyarakat Moravia di London, suatu pernyataan dari Luther dibacakan, yang menjelaskan suatu perubahan yang dikerjakan oleh Roh Allah di dalam hati orang-orang percaya. Pada waktu Wesley mendengarkan, iman mulai terbit di dalam jiwanya. "Aku merasakan hatiku dihangatkan secara aneh," katanya. "Aku merasakan saya percaya pada Kristus, Kristus satu-satunya jalan keselamatan. Dan kepastian telah diberikan kepada saya bahwa Ia telah membuangkan dosa-dosaku, ya, dosaku sendiri, dan menyelamatkanku dari hukum dosa dan kematian." -- Whitehead, "Life of John Wesley," p. 52.
Melalui tahun-tahun yang panjang pekerjaan yang melelahkan dan membosankan, -- tahun-tahun penyangkalan diri yang keras, teguran dan celaan, -- Wesley berpegang teguh kepada tujuannya mencari Allah. Sekarang ia telah menemukan-Nya, dan ia telah menemukan bahwa anugerah yang ia telah perjuangkan untuk dimenangkan oleh berdoa dan berpuasa, oleh perbuatan-perbuatan baik dan pengorbanan diri sendiri, adalah suatu karunia, "tanpa uang, tanpa harga."
Sekali diteguhkan dalam iman kepada Kristus, seluruh jiwa dibakar oleh suatu kerinduan untuk menyebarkan kemana-mana pengetahuan akan kabar Injil Allah yang mulia tentang karunia cuma-cuma-Nya. "Aku menganggap seluruh dunia sebagai daerah parokiku," katanya, "dengan demikian di bagian manapun di dunia ini saya berada, aku menganggapnya baik dan benar, dan adalah tugas kewajibanku untuk menyatakan kabar kesukaan keselamatan kepada semua orang yang mau mendengarkan." -- Idem, p. 74.
Ia melanjutkan kehidupannya yang ketat dan penuh penyangkalan diri, sekarang bukan sebagai landasan, tetapi sebagai akibat dari iman. Bukan sebagai akar, tetapi sebagai buah dari kesalehan. Kasih karunia Allah di dalam Kristus adalah dasar pengharapan orang Kristen, dan bahwa kasih karunia itu akan dinyatakan di dalam penurutan. Kehidupan Wesley dibaktikan kepada pemberitaan berita kebenaran yang besar yang telah diterimanya, yaitu pembenaran oleh iman di dalam darah Kristus yang menyucikan itu, dan kuasa yang memperbaharui hati dari Roh Kudus, yang akan menghasilkan buah dalam hidup yang sesuai dengan teladan Kristus.
Whitefield dan Wesley bersudara, telah dipersiapkan bagi pekerjaan mereka oleh keyakinan pribadi yang lama dan tepat mengenai keadaan mereka yang hilang. Dan agar mereka sanggup menanggung kesukaran sebagai laskar Kristus, mereka telah dihadapkan kepada cobaan-cobaan gencar cemoohan, olok-olokan dan penganiayaan, baik waktu di universitas maupun waktu mereka memasuki pelayanan kependetaan. Mereka dan beberpa orang lain yang bersimpati dengan mereka dituduh dengan panggilan Metodis oleh rekan-rekannya mahasiswa yang tidak percaya pada Tuhan, -- suatu nama yang dewasa ini dianggap sebagai kehormatan oleh salah satu denominasi terbesar di Inggeris dan Amerika.
Sebagai anggota Gereja Inggeris, mereka dengan kuat terikat kepada bentuk-bentuk perbaktian, tetapi Tuhan telah memberikan kepada mereka di dalam firman-Nya suatu standar yang lebih tinggi. Roh Suci mendorong mereka untuk mengkhotbahkan Kristus, Dia yang disalibkan itu. Kuasa Yang Mahatinggi menolong mereka dalam pekerjaan mereka. Ribuan orang diyakinkan dan benar-benar ditobatkan. Adalah perlu agar kawanan domba-domba ini dilindungi dari serigala-serigala buas yang kelaparan. Wesley tidak berpikir untuk membentuk organisasi agama baru, tetapi ia mengorganisasikan mereka kedalam apa yang dinamakan Methodist Connection atau Persekutuan Metodis.
Para pengkhotbah ini mendapat pertentangan keras dan misterius dari gereja yang sudah ada. Namun, Allah di dalam hikmat-Nya telah mengatasi segala kejadian-kejadian itu sehingga menyebabkan mulainya pembaharuan di dalam gereja itu sendiri. Seandainya pembaharuan itu seluruhnya datang dari luar gereja, maka tidak akan mampu menembus masuk ke dalam, dimana pembaharuan itu sangat diperlukan. Akan tetapi oleh karena pengkhotbah-pengkhotbah pembaharuan itu adalah anggota-anggota gereja, yang bekerja di dalam lingkungan gereja bilamana mereka mendapat kesempatan, maka kebenaran telah dapat masuk sementara pintu tetap tertutup. Beberapa dari pendeta-pendeta dibangunkan dari tidur moral mereka dan menjadi pengkhotbah-pengkhotbah yang bersemangat di wilayah paroki masing-masing. Gereja yang telah mengeras dengan formalisme sekarang dibangunkan menjadi hidup kembali.
Pada zaman Wesley, sebagaimana juga pada zaman-zaman sejarah gereja, orang-orang dengan berbagai karunia melakukan pekerjaan-pekerjaan yang telah ditetapkan bagi mereka. Mereka tidak mempunyai pandangan yang selaras atas setiap pokok doktrin, tetapi semuanya digerakkan oleh Roh Allah, dan bersatu dalam satu tujuan untuk memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus. Perbedaan-perbedaan antara Whitefield dan Wesley bersaudara pada suatu waktu mengancam terjadinya kerenggangan, tetapi oleh karena mereka telah belajar kelemah-lembutan dalam sekolah Kristus, maka mereka tetap berdamai dengan saling berbaik hati serta sabar dan saling mengendalikan diri. Mereka tidak mempunyai waktu untuk berselisih dan berdebat-debat, sementara kesalahan dan kejahatan merajalela dimana-mana, dan orang-orang berdosa sedang mau binasa.
Hamba-hamba Allah berjalan di jalan yang kasar. Orang-orang yang berpengaruh dan orang-orang terpelajar menggunakan kuasa menentang mereka. Tidak lama kemudian banyak pendeta-pendeta yang menunjukkan sikap bermusuhan, dan pintu gereja tertutup terhadap iman yang murni dan terhadap mereka yang menyiarkannya. Para pendeta , dalam menolak mereka dari mimbar, membangkitkan unsur-unsur kegelapan, kebodohan dan kejahatan. Berulang kali John Wesley lolos dari kematian oleh mujizat kemurahan Allah. Pada waktu massa yang marah mengamuk melawan dia, dan tampaknya tidak ada lagi jalan untuk meloloskan diri, seorang malaikat dalam rupa manusia datang ke sampingnya, sehingga massa mundur dan hamba Kristus luput dari tempat bahaya itu.
Mengenai kelepasannya dari amukan massa pada salah satu peristiwa itu, Wesley berkata, "Banyak yang berusaha melemparkan saya kebawah sementara kami turun dari atas bukit melalui jalan yang licin menuju kota, dengan pertimbangan bahwa sekali saya terkapar di atas tanah, saya tidak bisa bangkit lagi. Tetapi saya sama sekali tidak tersandung atau tergelincir sampai saya lepas dari tangan mereka. . . . Walaupun banyak yang berusaha keras memegang leher baju saya atau pakaian saya, untuk menjatuhkan saya, mereka sama sekali tidak bisa menahan saya. Hanya pernah seseorang memegang kuat tutup saku baju rompi saya, yang akhirnya robek tertinggal ditangannya. Tutup saku lain, saku yang berisi uang kertas, robek menjadi dua bagian . . . . Seorang yang kuat yang berada di belakangku memukul saya beberapa kali dengan tongkat kayu ek. Kalau saja dengan tongkat itu ia memukul belakang kepala saya, maka semuanya sudah beres. Tetapi setiap kali ia memukul, pukulan itu menyamping, saya tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi, karena saya sendiri tidak dapat bergerak ke kiri atau ke kanan . . . . Yang lain datang tergesa-gesa menerobos massa dan mengangkat tangannya hendak memukul, lalu tiba-tiba tangannya turun hanya menyentuh kepala saya, lalu ia berkata, 'Betapa halusnya rambutnya!' . . . Orang yang paling pertama yang diubahkan hatinya ialah pahlawan-pahlawan kota, pemimpin gerombolan dalam berbagai kejadian, salah seorang dari antara mereka pernah menjadi petarung memperebutkan hadiah dengan beruang . . . .
"Dengan tingkatan kelembutan yang bagaimanakah Allah mempersiapkan kita bagi kehendak-Nya? Dua tahun yang lalu, sepotong batu bata menggores bahu saya. Setahun kemudian sebuah batu menghantam wajah saya, di antara kedua mata. Bulan yang lalu saya menerima sebuah pukulan, dan sore ini dua pukulan, satu pukulan sebelum kami datang kekota, dan satu lagi sesudah kami pergi dari kota. Tetapi kedua-duanya tidak apa-apa, karena walaupun seseorang memukul saya di dada dengan sekuat tenaganya, dan yang lain memukul saya di mulut dengan sekeras-kerasnya sehingga darah mengucur keluar, saya tidak merasakan sakit dari pukulan-pukulan itu lebih dari seandainya mereka sentuh saya dengan sebatang jerami." -- Wesley's Works, Vol. III, pp. 297,298 (ed. 1831).
Orang-orang Metodis pada zaman itu, baik anggota biasa maupun para pendeta, menanggung ejekan dan penganiayaan dari anggota-anggota gereja dan orang-orang yang nyata-nyata tidak beragama yang marah oleh karena kekeliruan mereka. Mereka dituntut ke pengadilan -- hanya nama saja, sebab keadilan sangat jarang ditemukan pada zaman itu. Mereka sering mengalami perlakuan kejam dari penganiaya. Gerombolan massa bergerak dari rumah ke rumah, menghancurkan perabot dan barang-barang, merampas apa saja yang mereka mau, dan dengan brutal memperlakukan semena-mena pria, wanita dan anak-anak. Kadang-kadang mereka menempelkan pengumuman, memanggil mereka yang mau membantu merusak jendela-jendela dan merampok rumah-rumah orang Metodis, supaya berkumpul pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan dan hukum Tuhan yang secara terang-terangan ini telah dibiarkan terjadi tanpa teguran. Penganiayaan yang sistematis telah dilakukan kepada orang-orang yang "kesalahannya" adalah mengembalikan langkah-langkah orang berdosa dari jalan kebinasaan ke jalan kesalehan.
John Wesley berkata, menanggapi tuduhan yang dilancarkan kepadanya dan rekan-rekannya, "Sebagian orang menduga bahwa doktrin-doktrin orang-orang ini adalah palsu, salah dan penuh entusias; bahwa doktrin itu baru dan belum pernah terdengar sampai baru-baru ini; bahwa doktrin itu adalah Quakerisme, fanatisisme, kepausan. Semua kepura-puraan ini telah dicabut sampai ke akar-akarnya, meskipun telah ditunjukkan bahwa setiap cabang doktrin atau ajaran ini adalah doktrin sederhana Alkitab yang ditafsirkan oleh gereja kita sendiri. Oleh sebab itu tidak mungkin palsu atau salah, selama Alkitab itu benar." "Yang lain menduga, 'Ajaran mereka terlalu ketat, sehingga membuat jalan ke Surga itu terlalu sempit.' Dan inilah sebenarnya yng mereka tolak, (sebagaimana hampir satu-satunya selama beberapa waktu), dan bukan itu saja, secara rahasia ada ribuan lagi yang nampak dalam berbagai bentuk. Tetapi apakah mereka mempersempit jalan ke Surga dari pada yang dilakukan oleh Tuhan kita dan rasul-rasul-Nya? Apakah doktrin mereka lebih ketat dari pada yang ada dalam Alkitab? Perhatikanlah hanya beberap ayat saja: 'Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap pikiranmu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu.' 'Karena setiap perkataan yang sia-sia yang diucapkan oleh seseorang akan dipertanggungjawabkan pada hari penghakiman.' 'Apakah engkau makan atau minum, atau apa saja yang engkau perbuat, perbuatlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.'
"Jikalau doktrin mereka lebih ketat dari semua ini, mereka patut dipersalahkan. Tetapi engkau tahu di dalam hati nuranimu tidaklah demikian. Dan siapakah yang dapat menjadi kurang ketat tanpa menyelewengkan firman Allah? Dapatkah seorang pelayan rahasia-tahasia Allah didapati setia jikalau ia mengubah sesuatu bagian dari tulisan kudus itu? Tidak. Ia tidak boleh menghilangkan sesuatupun. Ia tidak boleh melembutkan sesuatupun. Ia harus menyatakan kepada semua orang, 'Saya tidak dapat menyesuaikan Alkitab menuruti seleramu. Engkau harus menyesuaikan diri kepadanya, atau engkau akan binasa untuk selama-lamanya.' Inilah landasan yang sebenarnya adanya seruan mengenai 'kekejaman orang-orang ini'. Kejam, benarkah mereka begitu? Apakah engkau tidak memberi makan orang lapar dan memberi pakaian orang yang bertelanjang? 'Tidak, bukan itu masalahnya. Mereka tidak menghendaki itu, tetapi mereka begitu kejam dalam pertimbangan. Mereka pikir tak seorangpun bisa selamat kecuali melalui jalan mereka.' " -- Wesley's Works, Vil. III, pp. 152-153.
Kemerosotan rohani yang telah nyata di Inggeris sebelum zamannya Wesley, sebagian besar diakibatkan oleh ajaran Antinomian. Banyak yang menyatakan bahwa Kristus telah menghapuskan hukum moral, dan oleh sebab itu orang Kristen tidak berkewajiban untuk menurutinya; bahwa orang percaya telah dibebaskan dari "perhambaan perbuatan-perbuatan baik." Sebagian yang lain, walaupun mengakui keabadian hukum itu, menyatakan bahwa para pendeta tidak perlu mendesak atau mendorong orang-orang untuk menuruti aturan atau perintah itu, oleh karena mereka yang telah dipilih Allah kepada keselamatan akan "dituntun kepada perbuatan kesalehan dan kebajikan oleh dorongan kasih karunia ilahi yang tidak tertahankan itu," sementara mereka yang binasa kedalam kutuk yang kekal "tidak mempunyai kuasa atau kesanggupan untuk menuruti hukum ilahi itu."
Yang lain yang berpegang pada ajaran bahwa "umat pilihan itu tidak bisa jatuh dari kasih karunia atau kehilangan kehendak ilahi," tiba pada kesimpulan yang lebih mengerikan lagi, bahwa "perbuatan jahat yang mereka lakukan sebenarnya bukanlah dosa, atau tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum ilahi, dan sebagai akibatnya mereka tidak perlu mengakui dosanya atau meninggalkannya oleh pertobatan." -- McClintock and Strong's Cyclopaedia, art. Antinomians (ed. 1871). Oleh sebab itu mereka menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai dosa yang paling buruk sekalipun, "yang dianggap secara universal sebagai pelanggaran berat kepada hukum ilahi, bukanlah suatu dosa di pandangan Allah," jika dilakukan oleh seseorang umat pilihan, "sebab itulah salah satu ciri-ciri penting dan jelas dari seorang umat pilihan, bahwa mereka tidak dapat melakukan sesuatu baik yang tidak menyenangkan hati Allah maupun yang dilarang oleh hukum."
Doktrin-doktrin aneh dan menakutkan ini pada dasarnya adalah sama dengan pengajaran yang berkembang kemudian oleh para pendidik dan para ahli teologia -- bahwa tidak ada hukum ilahi yang tidak bisa diubah sebagai standar hak, tetapi standar moral akan ditentukan oleh masyarakat itu sendiri, dan selamanya mempunyai kemungkinan untuk diubah. Semua pemikiran ini diilhami oleh roh yang sama -- oleh dia yang, bahkan di antara penduduk Surga yang tidak berdosa, memulai pekerjaannya mencari-cari kesempatan untuk menghancurkan hukum Allah yang benar dan yang mengendalikan itu.
Doktrin dekrit ilahi, yang tidak berubah dan memperbaiki tabiat manusia, telah menuntun banyak orang kepada penolakan hukum Allah. Wesley dengan tegas menolak kesalahan guru-guru ajaran Antinomian, dan menunjukkan bahwa doktrin ini, yang menuntun kepada Antinomianisme, bertentangan dengan Alkitab. "Karena kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata." "Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juru Selamat kita, yang menghendaki semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran. Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia." (Titus 2:11; 1 Timotius 2:3-6).
Roh Allah dianugerahkan dengan cuma-cuma untuk menyanggupkan setiap orang untuk memperoleh keselamatan. Dengan demikian Kristus, "Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia." (Yoh. 1:9). Manusia gagal memperoleh keselamatan oleh karena dengan sengaja menolak karunia hidup.
Sebagai jawaban kepada pendapat yang mengatakan bahwa pada saat kematian Kristus, ajaran Sepuluh Hukum (decalogue) telah dihapuskan bersama dengan hukum upacara, Wesley berkata, "Hukum moral, yang terdapat di dalam Sepuluh Hukum dan diberlakukan oleh para nabi, tidak dihapuskan-Nya. Kedatangan-Nya tidak dimaksudkan untuk membatalkan sesuatu bagian dari hukum itu. Hukum ini adalah hukum yang tidak pernah dihapuskan, yang 'berdiri teguh sebagai saksi yang setia di Surga' . . . . Hukum ini sudah ada sejak awal dunia ini, yang 'dituliskan bukan di atas loh-oh batu,' tetapi di dalam hati semua anak manusia, pada waktu mereka keluar dari tangan Pencipta (Khalik). Namun huruf-huruf yang pada suatu ketika dituliskan oleh jari-jari tangan Allah, sekarang dinodai oleh dosa. Meskipun begitu, hukum itu tidak dapat benar-benar dihapuskan sementara kita masih mempunyai kesadaran terhadap yang baik dan yang jahat. Setiap bagian dari hukum ini harus tetap berlaku bagi manusia, dan di segala zaman, sebagaimana ia tidak tergantung kepada waktu atau tempat, atau keadaan-keadaan yang lain yang dapat berubah. Tetapi bergantung pada sifat alamiah Allah, dan alamiah manusia dan hubungannya yang tak berubah kepada satu sama lain. " 'Aku datang bukan untuk merombak hukum, tetapi untuk menggenapi' . . . . Tanpa dipertanyakan, maksud-Nya dalam hal ini (sesuai dengan semua yang sudah lalu dan yang akan menyusul), -- Aku datang untuk memenuhinya, walau apapun pemutar-balikan manusia: Aku datang untuk menempatkannya di tempat yang bisa dilihat dengan jelas dan penuh betapapun kegelapan atau atau kesuraman menutupi tempat itu. Aku datang untuk menyatakan kebenaran dan kepenuhan makna setiap bagian dari hukum itu, untuk menunjukkan panjangnya dan lebarnya, luas seluruhnya setiap perintah yang dikandungnya dan tingginya dan dalamnya, kemurnian dan kerohanian yang tak terpahami dalam semua cabang-cabangnya." -- Wesley's Works, Sermon 25.
Wesley menyatakan keselarasan yang sempurna hukum itu dengan kabar Injil. "Oleh sebab itu, ada hubungan yang paling erat yang dapat dipikirkan, antara hukum dan Injil. Di satu sisi, hukum itu secara terus menerus menunjukkan jalan dan mengarahkan kita kepada Injil. Di sisi lain, Injil itu terus menerus menuntun kita kepada penggenapan hukum itu dengan lebih tepat. Sebagai contoh, hukum itu menghendaki kita mengasihi Allah, mengasihi tetangga kita, menjadi lemah lembut, rendah hati atau suci. Kita merasa bahwa kita tidak layak untuk hal-hal ini, ya, 'bagi manusia hal ini tidak mungkin,' tetapi kita melihat janji Allah memberikan kasih itu kepada kita, dan membuat kita lemah lembut dan rendah hati dan suci. Kita berpegang kepada Injil ini, kepada kabar kesukaan. Hal itu diberikan kepada kita sesuai dengan iman kita. Dan 'kebenaran hukum itu digenapi di dalam kita,' melalui iman yang di dalam Kristus Yesus . . . .
"Di tingkat yang paling tinggi musuh-musuh Injil Kristus," kata Wesley, "adalah mereka yang secara terbuka dan jelas 'menghakimi hukum itu,' sendiri, dan 'berbicara jahat mengenai hukum itu,' yang mengajar orang melanggar (melenyapkan, melonggarkan, atau membuka ikatan kewajiban kepada) bukan hanya satu -- yang paling kecil atau yang paling besar -- tetapi seluruh hukum itu . . . . Yang paling mengherankan dari semua keadaan yang membantu keadaan penipuan besar ini ialah bahwa mereka yang menyerah kepadanya, benar-benar percaya bahwa mereka menghormati Kristus oleh membuangkan hukum-Nya. Dan bahwa mereka sedang membesarkan kedudukan-Nya sementara membinasakan ajaran-ajaran-Nya! Ya, mereka menghormati-Nya hanya seperti yang dilakukan Yudas bilamana ia berkata, 'Salam Rabbi dan ia mencium-Nya,' Dan Kristus juga bisa berkata dengan jujur kepada setiap orang, 'Engkau mengkhianati Anak Manusia dengan sebuah ciuman?' Adalah pengkhianatan dengan ciuman membicarakan darah-Nya, tetapi membuang mahkota-Nya. Menyalakan terang oleh sesuatu bagian hukum-Nya, tetapi berpura-pura memajukan Injil-Nya. Tidak ada yang akan lolos dari tuduhan ini, yang mengkhotbahkan iman sedemikian rupa, apakah secara langsung atau tidak langsung cenderung mengesampingkan setiap cabang penurutan, dan yang mengkhotbahkan Kristus dengan meniadakan atau melemahkan hukum Allah yang terkecil sekalipun.' -- Wesley's Works, Sermon 25.
Kepada mereka yang mendesak bahwa, "pengkhotbahan Injil menjawab semua tujuan akhir hukum itu," Wesley menjawab, "Ini kita tolak dengan keras. Hal itu tidak menjawab tujuan akhir sekali dari hukum itu, yaitu, meyakinkan manusia akan dosa, membangunkan mereka yang masih tidur di tepi pintu neraka." Rasul Paulus menyatakan bahwa "oleh hukum kita mengenal dosa;" "dan bukan sampai seseorang melakukan dosa baru benar-benar merasakan keperluannya akan penebusan darah Kristus . . . . 'Mereka yang sehat' sebagaimana Tuhan kita sendiri mengamatinya, 'tidak memerlukan dokter, tetapi mereka yang sakit.' Oleh sebab itu, adalah tidak masuk akal untuk menyodorkan seorang dokter kepada mereka yang sehat, atau paling sedikit yang membayangkan diri mereka sehat. Pertama-tama engkau harus meyakinkan bahwa mereka itu sakit, sebab kalau tidak mereka tidak akan berterimakasih kepadamu atas jerih payahmu. Adalah sama mustahilnya menyodorkan Kristus kepada mereka yang hatinya 'sehat,' yang belum pernah mengalami patah hati." -- Idem, Sermon 35.
Dengan demikian sementara mengkhotbahkan Injil karunia Allah, Wesley, seperti Tuannya, berusaha "membesarkan hukum, dan menghormatinya." Dengan setia ia melakukan tugas yang diberikan Allah kepadanya, dan ia diizinkan untuk melihat hasilnya yang gemilang. Pada akhir hidupnya yang cukup lanjut yang lebih dari delapan puluh tahun -- lebih dari setengah abad digunakannya dalam pelayanan Injil -- pengikut-pengikutnya berjumlah lebih dari setengah juta orang. Tetapi orang-orang banyak, yang melalui usahanya telah diangkat dari puing-puing dan kehinaan dosa kepada kehidupan yang lebih tinggi dan lebih suci, dan jumlahnya yang oleh pengajarannya telah mencapai pengalaman yang lebih dalam dan lebih kaya, tidak akan pernah diketahui sampai seluruh keluarga umat yang ditebus itu dikumpulkan ke dalam kerajaan Allah. Hidupnya mempersembahkan satu pelajaran yang tak ternilai harganya bagi setiap orang Kristen. Akankah iman dan kerendahanhati, semangat yang tak mengenal lelah, pengorbanan diri sendiri, dan penyerahan hamba Kristus ini, boleh dipantulkan di dalam gereja-gereja zaman ini?

Kemenangan Akhir Bab 13 NEGERI BELANDA DAN SKANDINAVIA

Di Negeri Belanda, kelaliman kepausan lekas menimbulkan protes. Tujuh ratus tahun sebelum zaman Luther, paus Roma, tanpa takut, dituduh oleh dua orang uskup, yang telah pernah dikirim sebagai duta ke Roma. Mereka telah mengetahui tabiat sebenarnya "Sri Paus" : Allah "telah menjadikan gereja permaisuri-Nya, isterinya, untuk menjadi pemelihara yang agung selama-lamanya bagi keluarganya, dengan maskawin yang tidak akan luntur atau binasa, dan memberikan kepadanya mahkota kekal dan tongkat kekuasaan, . . . yang kesemuanya memberikan keuntungan kepadamu seperti pencuri yang tercegat. Engkau menempatkan dirimu di kaabah seperti Allah; gantinya sebagai gembala engkau telah menjadi serigala kepada domba-domba ; . . . engkau membuat kami percaya bahwa engkau adalah uskup tertinggi, tetapi engkau bahkan bertindak bagaikan seorang lalim. . . . Yang sebenarnya engkau harus menjadi hamba kepada hamba-hamba seperti yang engkau katakan, namun engkau telah berusaha menjadi tuan segala tuan . . . . Engkau membuat perintah-perintah Allah jatuh kepada kehinaan . . . . Roh Kudus adalah pembangun semua gereja sejauh dunia masih terbentang. . . . Kota Allah kita, dimana kita menjadi warganya, meliputi seluruh alam semesta. Kota Allah itu lebih besar dari kota yang disebut nabi-nabi kudus Babylon yang berpura-pura bersifat ilahi, mengangkat dirinya ke langit dan menyombongkan diri bahwa hikmatnya kekal. Dan akhirnya, walaupun tanpa alasan, ia mengaku bahwa ia tidak pernah salah, atau tidak akan pernah salah." -- Brandt, "History of the Reformation in and about the Low Countries," b. 1, p. 6.
Yang lain bangkit menggemakan protes ini dari abad ke abad. Dan guru-guru pada zaman itu, yang menjelajahi berbagai negeri dan dikenal dengan berbagai nama, memenghidupkan tabiat misionaris Vaudois, dan menyebarkan kemana-mana pengetahuan Injil itu, memasuki Negeri Belanda. Ajaran (doktrin) mereka menyebar dengan cepat. Alkitab Waldenses mereka terjemahkan dalam bentuk ayat-ayat kedalam bahasa Belanda. Mereka menyatakan "bahwa ada keuntungan besar di dalamnya. Tak ada lelucon, tidak ada cerita dongeng, tidak ada hal yang sepele, tidak ada kekurangan, tetapi semuanya adalah perkataan kebenaran. Memang benar, di sana sini ada kerak-kerak yang mengeras, tetapi sumsum dan manisnya apa yang baik dan suci dengan mudah bisa ditemukan di dalamnya." -- Brandt, b. 1, p. 14. Demikianlah dituliskan oleh sahabat-sahabat iman zaman kuno pada abad kedua belas.
Sekarang mulailah penganiayaan Romawi. Tetapi di tengah-tengah tumpukan kayu bakar dan penganiayaan, orang-orang percaya terus bertambah. Mereka dengan teguh menyatakan bahwa Alkitab adalah satu-satunya pedoman agama yang tidak bisa salah, dan bahwa "tak seorangpun harus dipaksa untuk mempercayainya, tetapi harus dimenangkan dengan khotbah." -- Martyn, Vol. II, p. 87.
Ajaran Luther mendapat tanah subur di Negeri Belanda. Orang-orang yang sungguh-sungguh dan setia bangkit untuk mengkhotbahkan Injil. Dari salah satu propinsi Negeri Belanda muncullah Menno Simons. Seorang Katolik Roma yang terdidik, dan yang diurapi kepada keimamatan, ia sama sekali masih buta mengenai Alkitab, dan ia tidak akan membacanya, karena takut tertipu menjadi bida'ah. Pada waktu keragu-raguan mengenai doktrin penjelmaan roti dan air anggur menjadi daging dan darah Kristus ("transubstantiation") mengganggu pikirannya, ia menganggapnya sebagai godaan Setan, dan oleh doa dan pengakuan ia berusaha membebaskan diri dari gangguan itu, tetapi sia-sia. Dengan hidup boros ia berusaha untuk mendiamkan suara hati nuraninya yang mengganggunya. Namun tanpa hasil apa-apa. Setelah beberapa waktu lamanya ia dituntun untuk mempelajari buku Perjanjian Baru. Dan buku ini bersama-sama dengan tulisan-tulisan Luther membuat ia menerima iman yang diperbaharui. Segera sesudah itu ia menyaksikan di kampung yang berdekatan pemenggalan kepala seseorang yang dihukum mati oleh karena dibaptiskan ulang. Hal ini menuntunnya mempelajari mengenai baptisan bayi. Ia sama sekali tidak menemukan bukti-bukti di dalam Alkitab mengenai hal ini, tetapi menemukan bahwa pertobatan dan imanlah sebagai syarat untuk menerima baptisan.
Menno mengundurkan diri dari Gereja Roma, dan membaktikan hidupnya kepada pengajaran kebenaran yang telah diterimanya. Suatu golongan orang-orang fanatik telah bangkit, baik di Negeri Belanda maupun di Jerman, yang menganjurkan ajaran-ajaran yang tidak masuk akal dan yang menghasut, melanggar hukum dan kesopanan, dan menimbulkan kekerasan dan pemberontakan serta huruhara. Menno melihat akibat yang mengerikan yang diakibatkan oleh gerakan ini, dan dengan keras ia menentang ajaran-ajaran yang salah dan rencana-rencana liar golongan fanatik itu. Namun, banyak orang yang telah disesatkan oleh kaum fanatik ini, telah meninggalkan ajaran-ajaran sesatnya. Masih ada tinggal beberapa keturunan orang Kristen purba, buah-buah dari pengajaran Waldenses. Menno bekerja dengan bersemangat dan berhasil di antara golongan-golongan ini. Selama dua puluh lima tahun ia bersama isterinya dan anak-anaknya mengembara menanggung kesulitan besar, pengucilan, dan sering yang membahayakan nyawanya. Ia menjelajahi Negeri Belanda dan Jerman bagian Utara, terutama bekerja di antara golongan-golongan rakyat biasa, namun berusaha menyebar-luaskan pengaruhnya. Secara alamiah ia pandai berbicara. Meskipun mempunyai pendidikan yang terbatas, ia mempunyai integritas yang tidak goyang, mempunyai kerendahan hati dan tabiat yang lemah lembut, dan seorang yang tulus dan saleh yang sungguh-sungguh, sehingga nyata dalam hidupnya semua jaran-ajaran yang diajarkannya, dan membawa rasa keyakinan orang orang banyak. Pengikut-pengikutnya tersebar, berpencar dimana-mana, dan ditindas. Mereka sangat menderita oleh karena disamakan dengan pengikut-pengikut Munster yang fanatik. Tetapi banyak sekali yang bertobat atas usahanya.
Doktrin yang dibaharui itu lebih banyak diterima di Negeri Belanda daripada dimanapun. Di beberapa negara pengikut-pengikutnya mengalami penganiayaan yang mengerikan. Di Jerman, Charles V telah melarang Pembaharuan, dan dengan gembira membunuh pengikut-pengikutnya di tiang pembakaran. Tetapi para pangeran berdiri sebagai penghalang melawan kelalimannya. Di Negeri Belanda kuasanya lebih besar lagi, dan dekrit penganiayaan dikeluarkan susul menyusul dengan cepat. Membaca Alkitab, mendengarkannya atau mengajarkannya, atau bahkan berbicara mengenai itu akan mendatangkan hukuman mati di atas tiang pembakaran. Berdoa kepada Allah di tempat tersembunyi, tidak menyembah patung, atau menyanyikan nyanyian Mazmur juga bisa dihukum mati. Bahkan mereka yang menyangkal kesalahannya juga dipersalahkan. Jika laki-laki, dibunuh dengan pedang, dan jika wanita, dikubur hidup-hidup. Ribuan orang binasa dibawah pemerintahan Charles dan Philip II.
Pada suatu waktu seluruh anggota suatu keluarga dibawa kehadapan pemeriksa, dituduh menghindari upacara misa, dan berbakti di rumah. Pada pemeriksaan ini, yang biasanya dilakukan dengan rahasia, anak yang paling muda menjawab, "Kami bertelut berdoa, kiranya Allah menerangi pikiran kami dan mengampuni dosa-dosa kami. Kami berdoa bagi pemerintah kami, kiranya pemerintahannya makmur, sejahtera dan hidupnya berbahagia. Kami berdoa bagi hakim-hakim kami, semoga Allah melindunginya." -- Wylie, b. 18, ch. 6. Sebagian dari para hakim yang mendengarnya sangat terkesan, namun sang ayah dan seorang dari anak-anaknya dihukum mati di tiang pembakaran.
Kemarahan para penganiaya diimbangi iman para syuhada. Bukan hanya para lelaki, tetapi jga perempuan cantik yang lemah lembut dan wanita-wanita muda menunjukkan keberanian yang pantang mundur. "Para isteri berdiri di samping tiang pembakaran suaminya, dan sementara suami menahan api yang membakarnya, mereka membisikkan kata-kata penghiburan, atau menyanyikan lagu-lagu pujian untuk memberi semangat." "Wanita-wanita muda memasuki lubang kubur mereka seolah-olah mereka memasuki kamar mereka pada waktu mau tidur malam, atau pergi ke tempat pembakaran dengan memakai pakaian terbagusnya seolah-olah mereka mau pergi ke pesta pernikahannya." -- Wylie, b. 18, ch. 6.
Seperti pada waktu kekafiran berusaha membinasakan Injil, darah orang-orang Kristen itu menjadi benih kabar Injil." -- Lihat Tertullian's "Apology," par. 50. Penganiayaan menambah jumlah orang-orang yang bersaksi bagi kebenaran. Tahun demi tahun raja semakin gusar oleh tekad orang-orang yang tak terdundukkan itu, lalu berusaha meningkatkan usaha-usaha kejamnya, tetapi hasilnya sia-sia. Di bawah William dari Orange, akhirnya Revolusi membawa kebebasan beribadat kepada Allah bagi Negeri Belanda.
Di pegunungan Piedmont, di dataran Perancis dan pantai-pantai Negeri Belanda, kemajuan pekabaran Injil ditandai dengan pertumpahan-pertumpahan darah murid-murid Injil. Tetapi di negeri-negeri di sebelah Utara, Injil itu masuk dengan aman. Mahasiswa-mahasiswa dari Wittenberg, yang kembali ke kampung halamannya, membawa iman yang dibaharui itu ke Skandinavia. Penerbitan tulisan-tulisan Luther juga menyebarkan terang kebenaran itu. Orang-orang Utara yang sederhana dan keras berbalik dari kebejatan, kemegahan dan ketakhyulan Roma, dan menyambut kemurnian, kesederhanaan dan kebenaran yang memberi kehidupan Alkitab.
Tausen, "Sang Pembaharu Denmark," adalah anak seorang petani. Sejak kecil ia sudah menunjukkan intelektual yang keras. Ia haus akan pendidikan, tetapi keinginannya ini tidak bisa terpenuhi oleh karena keadaan orang tuanya. Kemudian ia memasuki sebuah biara. Di sini, kemurnian hidupnya bersama-sama dengan kemajuannya dan kesetiaannya menjadikannya disenangi oleh atasannya. Ujian menunjukkan bahwa ia mempunyai bakat yang menjanjikan pelayanan yang baik bagi gereja di masa yang akan datang. Diputuskan untuk menyekolahkannya di salah satu universitas di Jerman atau di Nederland. Pemuda ini diizinkan memilih sendiri sekolah yang ia sukai dengan satu syarat, bahwa ia tidak boleh pergi ke Wittenberg. Sarjana-sarjana gereja tidak boleh dipengaruhi dengan racun bida'ah. Demikianlah kata para biarawan itu.
Tausen pergi ke Cologne, yang kemudian, sebagaimana sekarang, menjadi salah satu benteng pertahanan Romanisme. Di sini ia segera muak dengan ilmu mistik para pengajar. Kira-kira pada waktu yang sama ia mendapat tulisan-tulisan Luther. Ia membacanya dengan kagum dan dengan senang. Dan dengan kerinduan yang besar ingin menikmati pengajaran pribadi Pembaharu itu. Tetapi dengan berbuat demikian ia harus siap menanggung risiko melawan atasan biaranya, dan kehilangan dukungannya. Ia segera membuat keputusan. Dan tidak lama sesudah itu ia mendaftarkan diri menjadi mahasiswa di Wittenberg.
Sekembalinya ke Denmark, kembali ia pergi ke biaranya. Tak seorangpun yang menduga bahwa ia adalah pengikut Lutheranisme. Ia tidak membukakan rahasianya, tetapi berusaha menuntun orang-orang kepada iman yang lebih murni dan kehidupan yang lebih suci tanpa menimbulkan prasangka buruk teman-temannya. Ia membuka Alkitab, dan menjelaskan artinya yang sebenarnya; dan akhirnya mengajarkan Kristus kepada mereka sebagai kebenaran bagi orang-orang berdosa, dan satu-satunya harapan keselamatan. Kepala biara sangat marah kepadanya. Ia telah mengharapkannya sebagai seorang pembela Roma yang berani. Ia segera dipindahkan dari biaranya ke biara yang lain, dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan dengan pengawasan ketat.
Para pengawalnya yang baru ketakutan karena beberapa biarawan segera menyatakan mereka bertobat kepada Protestantisme. Melalui terali-terali ruang tahanannya Tausen berkomunikasi kepada teman-temannya mengenai pengetahuan kebenaran.
Seandainya para pater Denmark cakap dalam perencanaan gereja mengenai penanganan para bida'ah, maka suara Tausen tidak akan pernah lagi kedengaran.Tetapi sebagai gantinya mengirim dia kedalam penjara di bawah tanah, mereka mengeluarkannya dari biara. Sekarang mereka menjadi tidak berdaya. Dekrit kerajaan baru saja dikeluarkan, yang memberi perlindungan kepada guru-guru doktrin baru. Tausen mulai berkhotbah. Gereja-gereja terbuka baginya, dan orang-orangpun berduyun-duyun datang mendengarkannya. Yang lain juga mengkhotbahkan firman Allah. Alkitab Perjanjian Baru yang diterjemahkan kedalam bahasa Denmark, diedarkan secara luas. Usaha-usaha yang dilakukan oleh para pengikut paus untuk menghancurkan pekerjaan itu, justru meluaskannya. Tidak berapa lama kemudian Denmark menyatakan menerima iman yang dibaharui itu.
Juga di Swedia, para pemuda yang telah meminum air dari sumur Wittenberg membawa air hidup itu ke negeri mereka dan memberikannya kepada orang-orang di negerinya. Dua orang pemimpin Pembaharuan Swedia, Olaf dan Laurentius Petri, anak-anak seorang pandai besi dari Orebro, belajar dari Luther dan Melanchthon. Dan kebenaran yang mereka telah plajari, mereka ajarkan dengan rajin. Sebagaimana Pembaharu besar itu, Olaf membangunkan orang-orang oleh semangatnya dan kemahirannya berbicara, sementara Lurentius, seperti Melanchthon, adalah orang yang terpelajar, penuh pikiran dan tenang. Keduanya adalah orang-orang saleh yang giat, yang mempunyai pencapaian teologi yang tinggi, dan yang mempunyai keberanian yang sangat, dalam memajukan kebenaran. Oposisi para pengikut paus tidak berkurang. Imam-imam Katolik menggerakkan orang-orang bodoh dan penganut ketakhyulan. Olaf Petri sering diserang oleh orang banyak, dan dalam beberapa kejadian hampir-hampir tidak dapat menyelamatkan jiwanya. Akan tetapi para Pembaharu itu sebenarnya disukai dan dilindungi oleh raja.
Dibawah kekuasaan Gereja Roma, rakyat tenggelam dalam kemiskinan, dan dihempas oleh penindasan. Mereka buta akan Alkitab, dan agama mereka hanya sekedar tanda-tanda dan upacara-upacara yang tidak membawa terang ke dalam pikiran. Mereka kembali kepada kepercayaan ketakhyulan dan praktek-praktek kekafiran nenek moyang mereka. Bangsa ini terbagi kedalam dua bagian yang bersaing satu sma lain. Dan permusuhan mereka itu menambah penderitaan semua orang. Raja bermaksud untuk mengadakan pembaharuan di dalam negara dan gereja, dan ia menyambut para pembantu yang berkemampuan ini dalam melawan Roma.
Di hadapan raja dan orang-orang terkemuka Swedia, Olaf Petri dengan kemampuan besar mempertahnkan ajaran-ajaran iman yang diperbaharui itu melawan jago-jago Romawi. Ia menyatakan bahwa pengajaran para Pater (Padri) diterima hanya kalau itu sesuai dengan Alkitab. Bahwa doktrin-doktrin penting mengenai iman disajikan di dalam Alkitab dengan cara yang jelas dan sederhana, sehingga semua orang bisa mengerti. Kristus berkata, "Ajaranku tidak berasal dari diri-Ku sendiri, tetapi dari Dia yang telah mengutus Aku." ( Yohanes 7:16). Dan Rasul Paulus menyatakan bahwa kalau ia memberitakan Injil yang lain selain dari yang ia sudah terima, terkutuklah dia (Galatia 1:8). "Jadi, bagaimana sekarang," kata Pembaharu itu, "orang-orang lain harus menganggap menampilkan dogma dengan sesuka hati, dan memberlakukannya sebagai sesuatu yang perlu bagi keselamatan?" -- Wylie, b. 10, ch. 4. Ia menunjukkan bahwa dekrit gereja tidak berwenang jikalau bertentangan dengan perinta-perintah Allah, dan mempertahankan prinsip-prinsip Protestan yang utama, bahwa "hanya Alkitab saja satu-satunya" peraturan dan ukuran iman dan perbuatan.
Kontes ini, walaupun dilakukan dengan keadaan yang samar-samar, menunjukkan kepada kita "jenis orang-orang yang membentuk lapisan dan barisan prajurit para Pembaharu. Mereka tidak buta huruf, tidak pendukung sesuatu sekte, dan bukan penentang-penentang yang suka ribut -- jauh dari itu. Mereka adalah orang-orang yang telah mempelajari firman Allah, dan mengetahui benar bagaimana menggunakan senjata yang diberikan oleh Alkitab. Dalam hal pengetahuan, mereka telah mendahului zamannya. Bilamana kita memusatkan perhatian kita kepada pusat-pusat mengagumkan seperti Wittenberg dan Zurich, dan kepada nama-nama seperti Luther dan Melanchthon, Zwingle dan Oecolampadius, kita cenderung mengetahui bahwa mereka-mereka inilah pemimpin pergerakan itu, dan sewajarnyalah kita mengharapkan adanya kuasa luar biasa dan kemahiran yang luas pada mereka. Tetapi tidak demikian dengan bawahan mereka. Baiklah kita memandang kepada gedung kesenian yang tidak terkenal di Swedia, dengan nama-nama sederhana Olaf dan Laurentius Petri -- mulai dari guru-guru sampai kepada murid-murid -- apakah yang kita dapati? . . . . Para sarjana dan pakar-pakar teologia. Orang-orang yang telah menguasai seluruh sistem kebenaran Injil, dan yang telah memperoleh kemenangan dengan mudah atas orang-orang yang pandai memutar-balikkan argumentasi di sekolah-sekolah dan pemuka-pemuka Roma." -- Wylie, b. 10, ch. 4.
Sebagai akibat dari perdebatan ini, raja Swedia menerima iman Protestan, dan tidak lama kemudian majelis nasional menyatakan dukungannya. Alkitab Perjanjian Baru diterjenahkan ke dalam bahasa Swedia oleh Olaf Petri, dan raja ingin kedua bersaudara itu menerjemahkan seluruh Alkitab. Dengan demikian untuk pertama kalinya rakyat Swedia menerima firman Allah dalam bahasa mereka sendiri. Dewan Perwakilan Rakyat memerintahkan agar diseluruh kerajaan itu para pendeta menerangkan Alkitab, dan agar anak-anak di sekolah-sekolah di ajar untuk membaca Alkitab.
Dengan tetap dan pasti kegelapan kebodohan dan ketakhyulan diusir oleh terang Injil. Bangsa itu mengalami kemajuan dan kebesaran yang belum pernah dialami sebelumnya, setelah dibebaskan dari penindasan Romawi. Swedia menjadi salah satu benteng pertahanan Protestanisme. Seabad kemudian, pada waktu bahaya yang paling sengit, bangsa yang kecil dan lemah ini -- satu-satunya di Eropa yang berani memberikan pertolongan -- membantu melepaskan Jerman dari Perang Tigapuluh Tahun yang sengit. Tampaknya semua negara Eropa bagian Utara akan kembali berada di bawah kelaliman Roma. Tentara Swedialah yang menyanggupkan Jerman untuk mengalahkan kepausan, untuk memenangkan toleransi bagi kaum Protestan -- pengikut-pengikut Calvin maupun Luther -- dan mengembalikan kebebasan hati nurani Pembaharuan.

9 Apr 2014

Kemenangan Akhir Bab 12 PEMBAHARUAN (REFORMASI) DI PERANCIS

Protes Spires dan Pengakuan di Augsburg, yang menandai kemenangan Pembaharuan di Jerman, diikuti oleh pertentangan dan kegelapan selama bertahun-tahun lamanya. Dilemahkan oleh pertentangan diantara para pendukungnya dan diserang oleh musuh-musuhnya yang kuat, Protestantisme tampaknya menuju kehancurannya. Ribuan orang memeteraikan kesaksiannya dengan darahnya. Perang saudarapun pecah. Kepentingan Protestan dikhianati oleh seorang pengikutnya yang terkemuka. Para pangeran pembaharuan yang terbaik jatuh ke tangan kaisar, dan diseret sebagai tawanan dari satu kota ke kota lain. Tetapi disaat kemenangannya yang nyata, kaisar dipukul kalah. Ia melihat mangsanya dirampas dari genggamannya, dan pada akhirnya ia terpaksa memberikan toleransi kepada doktrin-doktrin, yang telah menjadi cita-cita hidupnya untuk menghancurkannya. Ia telah mempertaruhkan kerajaannya, hartanya dan hidupnya sendiri, untuk menumpas bida'ah. Sekarang ia melihat bala tenteranya habis percuma dalam peperangan, hartanya ludas, daerah-daerah kerajaannya terancam pemberontakan, sementara dimana-mana iman yang dengan sia-sia ditekannya semakin meluas. Charles V telah berperang melawan Yang Mahakuasa. Allah telah bersabda, "Jadilah terang," tetapi kaisar telah berusaha mempertahankan kegelapan itu. Segala maksudnya telah gagal. Dan dalam usia yang masih muda, dilelahkan oleh perjuangan yang lama, ia turun dari takhtanya dan mengasingkan diri di suatu biara.
Di Swis, sebgaimana juga di Jermn, hari-hari kegelapan menyelubungi Pembaharuan. Sementara banyak daerah menerima iman yang dibaharui, yang lain secara membabi buta masih tetap bergantung kepada ajaran Roma. Penganiayaan terhadap mereka yang ingin menerima kebenaran, akhirnya menimbulkan perang saudara. Zwingle, dan banyak yang lain yang telah bersatu dengan dia dalam pembaharuan, terlibat dalam peristiwa berdarah di Cappel. Oecolampadius, yang merasa terpukul oleh peristiwa yang mengerikan ini, meninggal dunia tidak lama kemudian. Roma menang, dan di berbagai tempat kelihatannya hampir direbut kembali apa yang telah hilang. Akan tetapi Allah tidak melupakan pekerjaan-Nya dan umat-Nya. Tangan-Nya akan melepaskan mereka. Di negeri-negri lain Ia telah mengangkat pekerja-pekerja untuk melanjutkan pekerjaan Pembaharuan.
Di Perancis, sebelum nama Luther didengar sebagai seorang Pembaharu, fajar telah mulai menyingsing. Salah seorang yang pertama menerima terang itu ialah Lefevre, seorang yang sudah tua. Ia seorang yang berpendidikan luas, seorang guru besar di Universitas Paris, dan seorang pengikut kepausan yang sungguh-sungguh dan bersemangat. Dalam penelitiannya terhadap literatur kuno, perhatiannya tertuju kepada Alkitab, dan ia memperkenalkan ilmunya itu kepada para mahasiswanya.
Lefevre adalah seorang pemuja orang-orang saleh yang bersemangat, dan ia bertanggungjawab untuk mempersiapkan sejarah para orang-orang saleh dan para syuhada (martir) sebagaimana terdapat dalam cerita-cerita kuno gereja. Pekerjaan ini melibatkan usaha besar; tetapi sebenarnya ia telah membuat kemajuan yang berarti, pada waktu ia berpikir mungkin ia boleh mendapat bantuan yang berarti dari Alkitab, lalu ia mulai mempelajarinya dengan tujuan ini. Benar, di sini ia menemukan orang-orang saleh, tetapi tidak seperti yang digambarkan oleh kalender Romawi. Pikirannya dibanjiri oleh terang ilahi. Dalam kekagumannya dan kemuakannya ia meninggalkan tugasnya itu, dan membaktikan dirinya kepada firman Allah. Kebenaran-kebenaran yang berharga yang ditemukannya di sana segera diajarkannya.
Pada tahun 1512 sebelum Luther maupun Zwingle memulai pekerjaan pembaharuan, Lefevre menulis, "Allahlah yang mengaruniakan kepada kita, oleh iman, kebenaran yang hanya oleh karena karunia, membenarkan kita bagi hidup kekal." -- Wylie, b. 13, ch. 1. Berpegang pada rahasia penebusan, ia berkata, "Oh, betapa tak terkatakan besarnya penggantian itu. Yang Tak Berdosa menanggung hukuman, dan ia yang bersalah dibebaskan. Yang Diberkati menanggung kutuk, dan yang terkutuk dibawa kepada berkat. Kehidupan itu mati, dan yang mati itu dihidupkan. Yang Mulia masuk ke dalam kegelapan, dan dia yang tidak tahu apa-apa selain bermuka kebingungan, disalut dengan kemuliaan." -- D'Aubigne, b. 12, ch. 2 (London ed.).
Dan sementara ia mengajarkan bahwa kemuliaan keselamatan semata-mata adalah milik Allah, ia juga menyatakan bahwa tugas penurutan adalah milik manusia. "Jika engkau adalah anggota gereja Kristus," katanya, "engkau adalah anggota tubuh-Nya. Jika engkau adalah anggota tubuh-Nya, maka engkau penuh dengan alamiah ilahi . . . . Oh, jikalau sekiranya orang-orang mengerti kesempatan ini, betapa murninya, sucinya dan kudusnya mereka akan hidup, dan betapa mereka dapat digabungkan bersama, jika dibandingkan dengan kemuliaan yang di dalam mereka, -- kemuliaan yang mata daging tidak dapat lihat, -- akan menganggap semua kemuliaan dunia yang tidak berarti ini." -- Idem, b. 12, ch. 2 (London ed.).
Ada beberapa mahasiswa Lefevre yang mendengarkan perkataannya dengan sungguh-sungguh, dan terus menyatakan kebenaran, lama sesudah suara gurunya itu didiamkan. Salah seorang diantaranya ialah William Farel. Ia adalah anak dari orang tua yang saleh dan dididik menerima, dengan iman yang sungguh-sungguh, ajaran-ajaran gereja. Sehingga ia boleh berkata mengenai dirinya seperti Rasul Paulus, "Aku telah hidup sebagai seorang Farisi menurut mazhab yang paling keras dalam agama kita." (Kisah 26:5). Sebagai seorang pengikut Roma yang taat, dengan semangat yang berapi-api ia berusaha membinasakan semua mereka yang berani menentang gereja. "Saya akan menggertakkan gigiku bagaikan serigala yang ganas," katanya kemudian waktu berbicara mengenai dirinya waktu itu, "bilamana saya mendengar seseorang berbicara menentang paus." -- Wylie, b. 13, ch. 2. Ia tidak mengenal lelah memuja para orang saleh. Bersama-sama dengan Lefevre mengunjungi gereja-gereja di Paris, beribadat di mezbah-mezbah dan memuja dengan persembahan-persembahan di tempat-tempat pemujaan kudus. Tetapi semuanya ini tidak dapat membawa kedamaian kepada jiwanya. Perasaan berdosa terus melekat pada dirinya, yang tidak dapat dihapuskan oleh semua tindakan pemujaan yang dilakukannya. Ia mendengarkan kata-kata Pembaharu sebagai suara dari Surga, "Keselamatan adalah kasih karunia Allah." "Yang kudus dihukum, dan penjahat dibebaskan." "Hanya salib Kristus saja yang sanggup membuka pintu gerbang Surga, dan menutup pintu gerbang neraka." -- Wylie, b. 13, ch. 2.
Farel menerima kebenaran dengan sukacita. Oleh pertobatan seperti yang dialami oleh Rasul Paulus, ia beralih dari perhambaan tradisi kepada kemerdekaan anak-anak Allah. "Gantinya memiliki hati seorang pembunuh bagaikan serigala yang kelaparan," katanya, "ia menjadi seperti seekor anak domba yang lembut dan tak berbahaya, karena hatinya seluruhnya telah ditarik dari paus dan dberikan kepada Yeusu Kristus." -- D'Aubigne, b. 12, ch. 3.
Sementara Lefevre terus menyebarkan terang itu kepada para mahasiswanya, Farel, seorang yang bersemangat dalam pekerjaan Yesus, sebagaimana dahulu pada paus, pergi memberitakan kebenaran kepada umum. Seorang pejabat gereja, uskup dari Meaux, bergabung dengan mereka tidak lama kemudian. Guru-guru lain yang tergolong tinggi dalam kemampuan dan pendidikan, bergabung juga untuk memberitakan Injil. Dan mereka memenangkan banyak pengikut dari semua golongan, dari kalangan pekerja dan petani sampai ke istana raja. Saudara perempuan Francis I, yang kemudian menjadi raja, menerima iman yang dibaharui itu. Raja sendiri dan ibu suri, nampaknya untuk sementara menanggapinya dengan baik, dan dengan sangat mengharap para Pembaharu itu memandang ke depan di saat mana Perancis dimenangkan kepada Injil.
Tetapi harapan-harapan mereka belum terwujud. Pencobaan dan penganiayaan menanti murid-murid Kristus. Namun hal ini diselubungi dari pandangan mereka. Satu waktu kedamaian menyelinginya agar mereka boleh mendapat kekuatan untuk menghadapi bencana, dan Pembaharuan memperoleh kemajuan pesat. Uskup Meaux bekerja dengan bersemangat di wilayah keuskupannya untuk mengajar para imam maupun orang-orang biasa atau umum. Imam-imam yang tidak mau perduli atau bodoh dan tidak bermoral dipindahkan sejauh mungkin, dan diganti dengan orang-orang terpelajar dan yang saleh. Uskup sangat menginginkan agar orang-orangnya mempelajari sendiri firman Allah bagi mereka sendiri, dan hal ini segera tercapai. Lefevre merasa bertanggungjawab untuk menerjemahkan Alkitab Perjanjian Baru . Dan pada waktu Alkitab bahasa Jerman terjemahan Luther keluar dari percetakan di Wittenberg, Alkitab Perjanjian Baru bahasa Perancis telah diterbitkan di Meaux. Uskup mengerahkan tenaga dan biaya untuk menyebarkan buku itu di gereja-gerejanya, sehingga tidak lama para petani Meaux sudah mempunyai Alkitab Perjanjian Baru.
Bagaikan musafir yang kehausan menyambut dengn sukacita mata air hidup, demikianlah jiwa-jiwa ini menerima pekabaran dari Surga. Para pekerja di ladang, para pengrajin di ruang kerjanya bergembira dalam kerjanya setiap hari sambil membicarakan kebenaran berharga Alkitab. Pada malam hari, mereka tidak lagi pergi ke bar-bar atau tempat-tempat minum-minum lainnya. Mereka berkumpul di rumah-rumah untuk membaca firman Tuhan, dan berdoa dan memuji Tuhan bersama-sama. Suatu perubahan besar segera terlihat di masyarakat. Walaupun mereka tergolong kelompok paling sederhana, yang kurang berpendidikan dan petani yang bekerja keras, kuasa kasih karunia Allah yang membaharui dan yang mengangkat kelihatan dalam kehidupan mereka. Mereka berdiri sebagai saksi yang rendah hati, pengasih, dan kudus terhadap apa yang akan diberikan Injil kepada mereka yang menerimanya dengan sungguh-sungguh.
Terang kebenaran yang dinyalakan di Meaux memancarkan sinarnya sampai ke tempat yang jauh. Setiap hari bilangan orang yang bertobat terus bertambah. Kemarahan pejabat tinggi gereja pada satu saat dapat ditahan oleh raja, yang benci kepada kefanatikan sempit para biarawan. Tetapi akhirnya para pemimpin kepausan memperoleh kemenangan. Sekarang tiang gantungan sudah didirikan. Uskup Meaux dipaksa untuk memilih antara api dan penarikan kembali ajaran-ajarannya, lalu ia memilih jalan mudah. Tetapi walaupun pemimpin mereka sudah jatuh, para pengikutnya tetap teguh pada pendirian mereka. Banyak yang bersaksi demi kebenaran di tengah-tengah nyala api yang berkobar-kobar. Dengan keberanian dan kesetiaan mereka di tiang gantungan, orang-orang Kristen yang rendah hati ini berbicara kepada ribuan orang, yang pada hari-hari damai tidak pernah mendengar kesaksian mereka.
Bukan hanya orang-orang sederhana dan miskin ini, yang di tengah-tengah penderitaan dan hinaan, berani bersaksi bagi Kristus. Di aula-aula besar dan di istana terdapat jiwa-jiwa yng berasal dari kalangan raja-raja yang menilai kebenaran mengatasi kekayan atau status kedudukan, atau bahkan kehidupan itu sendiri. Di balik baju perang kerajaan tersembunyi roh yang lebih agung dan lebih teguh dari pada jiwa yang ada di balik jubah dan topi uskup. Louis de Berquin adalah keturunan bangsawan. Ia adalah seorang satria istana pemberani yang menggunakan waktunya untuk belajar, bertingkah laku halus dan bermoral yang tak bercacad. Seorang penulis berkata, "Ia adalah seorang pengikut konstitusi kepausan, dan seorang pendengar setia khotbah-khotbah dan misa, . . . menyempurnakan semua kebajikannya yang lalim dengan menahan faham Lutheran dengan kebencian khusus." Tetapi seperti yang lain-lainnya, dengan tuntunan Allah ia telah dibawa kepada Alkitab. Ia merasa heran menemukan di sana bukan ajaran-ajaran Roma, tetapi ajaran-ajaran Luther." -- Wylie, b. 13, ch. 9. Sejak waktu itu ia membaktikan dirinya untuk kepentingan Injil.
"Sebagai seorang bangsawan Perancis yang paling terpelajar," kecakapannya dan ketrampilannya, keberaniannya yang tiada terkekang dan keperkasaannya serta pengaruhnya di istana -- karena ia kesukaan raja -- menyebabkan ia dianggap banyak orang sebagai seorang yang akan menjadi Pembaharu di negerinya. Beza berkata, "Berqiun akan menjadi Luther kedua, kalau saja Francis I menjadi 'elector' kedua." "Ia lebih buruk dari Luther," kata para pengikut kepausan. -- Idem, b. 13, ch. 9. Memang dia lebih ditakuti oleh para pengikut Roma di Perancis. Mereka memasukkannya ke penjara sebagai seorang bida'ah, seorang penyesat, tetapi ia dibebaskan oleh raja. Perjuangan berlanjut selama bertahun-tahun. Francis, yang terombang-ambing antara Roma dan Pembaharuan, kadang-kadang menerima kadang-kadang mengekang semangat hebat para biarawan itu. Tiga kali Berquin dipenjarakan oleh penguasa kepausan, tetapi tiga kali pula ia dibebaskan oleh raja, yang mengagumi kecakapan dan keagungan tabiatnya, menolak mengorbankannya kepada kebencian pejabat gereja.
Telah berulang-ulang Berquin diamarkan mengenai bahaya yang mengancamnya di Perancis, dan mendesaknya untuk mengikuti jejak mereka yang mencari keamanan dipengasingan secara sukarela. Erasmus, seorang pemalu dan seorang oportunis, menulis kepada Berquin, "Mintalah supaya engkau dikirim ke luar negeri sebagai duta besar ke negara asing, pergi dan jelajahilah Jerman. Engkau mengenal Beda -- ia adalah binatang buas raksasa yang berkepala seribu, yang menyemburkan bisa ke segala penjuru. Musuh-musuhmu disebut Legion. Seandainya pekerjanmu lebih baik dari pekerjaan Yesus Kristuspun, mereka tidak akan membiarkanmu sampai mereka benar-benar membinasakanmu. Janganlah engkau terlalu percaya kepada perlindungan raja. Dalam segala keadaan janganlah berkompromi dengan saya dalam kemampuan teologia." -- Wylie, b. 13, ch. 9.
Akan tetapi, sementara bahaya-bahaya semakin memuncak, semangat Berquinpun semakin kuat. Dengan memanfaatkan nasihat Erasmus yang menyangkut politik dan penggunaan waktu, ia berketetapan untuk lebih berani dalam usahanya. Ia bukan saja berdiri mempertahankan kebenaran, tetapi ia juga akan menyerang kesalahan. Tuduhan bida'ah yang dituduhkan pengikut Romanisme kepadanya akan balik dituduhkannya kepada mereka. Lawan-lawannya yang paling giat dan sengit ialah doktor dan para biarawan dari departemen teologia Universitas Paris yang besar itu, salah satu pemegang kekuasaan tertinggi gereja baik di kota maupun di seluruh negara itu. Dari tulisan-tulisan para doktor ini, Berquin menarik 12 dalil yang dinyatakannya secara umum, "bertentangan dengan Alkitab, dan menyimpang atau bida'ah." Dan ia menghimbau raja untuk bertindak sebagai hakim dalam pertikaian itu.
Raja, dengan tidak bosan-bosannya mempertentangkan penguasa dengan penantangnya, merasa gembira mempunyai kesempatan untuk merendahkan keangkuhan para biarawan yang sombong itu. Ia meminta agar para pengikut Romanisme mempertahankan kepentingan mereka berdasarkan Alkitab. Senjata ini, sebagaimana mereka tahu, hanya sedikit bisa membantu. Penjara, penganiayaan, dan tiang gantungan adalah senjata-senjata yang mereka tahu cara menggunakannya. Sekarang keadaan sudah berbalik. Mereka melihat diri mereka hampir jatuh ke dalam lobang yang sebenarnya mereka harapkan untuk Berquin. Dalam keheranan, mereka mencari jalan di sekitar mereka untuk meloloskan diri.
"Tepat pada waktu itu patung Anak Dara (Bunda Maria) yang berada di sudut salah satu jalan, dirusak orang." Ada kegemparan di kota itu. Orang-orang berkerumun ke tempat itu dengan sedih bercampur marah. Raja juga turut prihatin. Ini adalah salah satu keuntungan yang dapat dibalikkan oleh para biarawan menjadi milik mereka, dan dengan cepat mereka memanfaatkan kejadian ini. "Ini adalah buah-buah dari doktrin-doktrin Berquin," teriak mereka. "Semua akan diruntuhkan oleh komplotan Lutheran -- agama, undang-undang, dan bahkan takhta sendiri." -- Idem, b. 13, ch. 9.
Sekali lagi Berquin ditahan. Raja mengundurkan diri dari Paris, dan dengan demikian para biarawan bebas melakukan kemauan mereka. Pembaharu itu diadili dan dijatuhi hukuman mati. Hukuman mati dilaksanakan hari itu juga, supaya Francis tidak sempat menyelamatkannya. Pada tengah hari Berquin dibawa ke tempat pelaksanaan hukuman mati. Orang ramai sekali berkumpul menyaksikan kejadian itu. Dan banyak yang merasa heran dan sedih melihat bahwa yang menjadi korban adalah seorang dari keluarga bangsawan Perancis yang terbaik dan paling pemberani. Keheranan, kemarahan, makian dan kebencian serta dendam kesumat meliputi wajah orang ramai. Tetapi pada satu wajah tidak ada kemurungan. Pikiran sang martir atau syuhada itu jauh dari suasana kemurungan dan kekacauan. Ia menyadari hanya hadirat Tuhannya
Kereta narapidana yang ditumpanginya, wajah-wajah seram para penganiaya, kematian yang mengerikan yang akan dijalaninya, -- semua ini tidak dihiraukannya. Ia yang hidup dan yang telah mati, dan yang telah hidup kembali untuk selama-lamanya, dan yang mempunyai anak kunci maut dan neraka, ada disampingnya. Wajah Berquin disinari dengan terang dan kedamaian Surga. Ia mengenakan sendiri pakaian yang mewah, memakai "satu jubah dari beludru, baju kuno yang terbuat dari satin dan sutra, dan celana ketat yang berwarna keemasan." -- D'Aubigne, "History of the Reformation in the Time of Calvin," b. 2, ch. 16. Ia sudah mau menyaksikan imannya dihadirat Raja segala raja dan alam semesta yang menyaksikannya, dan tidak ada tanda dukacita yang menodai sukacitanya.
Ketika arak-arakan bergerak perlahan melalui jalan-jalan yang sudah dipadati orang, orang-orang merasa heran melihat pembawaannya yang penuh kedamaian yang tidak terselubung dan sukacita kemenangan. Kata mereka, "Ia seperti seseorang yang duduk di sebuah kaabah dan merenungkan perkara-perkara suci." -- Wylie, b. 13, ch. 9.
Dari tiang gantungan, Berquin berusaha menucapkan beberapa perkataan kepada orang banyak. Tetapi para biarawan, yang takut akan akibatnya, mulai berteriak, dan para prajurit membentur-benturkan senjata mereka sehingga suara berisik itu menghilangkan suara sang syuhada. Demikianlah pada tahun 1529 penguasa negara dan gereja kota Paris yang sudah beradab, "telah memberikan contoh yang paling buruk kepada penduduk tahun 1793, yang mendiamkan kata-kata suci orang yang sedang berada di atas panggung hukuman mati." -- Idem, b. 13, ch. 9.
Berquin dicekik dengan tali, dan tubuhnya hangus dimakan api. Berita kematiannya menimbulkan dukacita pada sahabat-sahabat Pembaharuan di seluruh Perancis. Tetapi teladannya tidak hilang. "Kita juga siap," kata saksi-saksi kebenaran itu, "menghadapi kematian dengan sukacita, menunjukkan pandangan kita pada kehidupan yang akan datang." -- D'Aubigne, "History of the Reformation in the Time of Calvin," b. 2, ch. 16.
Selama penganiayaan di Meaux, guru-guru iman yang diperbaharui itu tidak diizinkan untuk berkhotbah, dan mereka pergi ke ladang-ladang yang lain. Lefevre kemudian pergi ke Jerman. Dan Farel kembali ke kota asalnya di bagian Timur Perancis, untuk menyebarkan terang di tempat masa kanak-kanaknya. Telah diterima kabar mengenai apa yang terjadi di Meaux, dan kebenaran yang diajarkannya dengan tidak mengenal rasa takut, mendapat tempat di dalam hati para pendengar. Segera para penguasa bengkit untuk membungkamkannya, dan ia telah menghilang dari kota. Walaupun ia tidak bisa lagi bekerja dengan terang-terangan, ia menjelajahi lembah dan desa-desa mengajar di rumah-rumah tinggal pribadi, dan di padang-padang terpencil, dan berlindung di hutan-hutan dan di celah-celah bukit batu yang telah sering dikunjunginya semasa kecilnya. Allah mempersiapkannya bagi pencobaan yang lebih besar. "Salib-salib, penganiayaan-penganiayaan dan persekongkolan Setan, yang telah lebih dahulu diamarkan kepadaku, tidak berkurang," katanya, "bahkan lebih berat dari pada yang dapat saya tanggung. Tetapi Allah adalah Bapaku, Ia telah memberikan dan akan terus memberikan kekuatan yang saya perlukan." -- D'Aubigne, b. 12, ch. 9.
Sebagaimana pada zaman rasul-rasul, penganiayaan telah "menyebabkan kemajuan Injil." ( Pilipi 1:12). Diusir dari Paris dan Meaux, "mereka yang tersebar itu menjelajahi seluruh negeri sambil memberitakan Injil." (Kisah 8:4). Dan demikianlah terang itu memasuki beberapa propinsi-propinsi terpencil di Perancis.
Allah masih terus menyediakan pekerja-pekerja untuk meluaskan pekerjaannya. Di salah satu sekolah di Paris ada seorang pemuda pendiam dan yang penuh perhatian. Ia telah memperlihatkan kemampuan pikirannya dan kemurnian hidupnya, semangat intelektualnya dan pengabdian agamanya. Kecerdasannya yang menonjol telah membuatnya menjadi kebanggaan perguruan tinggi dimana ia kuliah, dan telah diperkirakan bahwa John Calvin akan menjadi salah seorang pembela gereja yang paling kuat dan disegani. Akan tetapi sinar terang ilahi menembusi tembok kependidikan dan ketakhyulan dimana Calvin berada. Ia mendengar ajaran atau doktrin baru dengan gentar, tanpa ragu-ragu bahwa para bida'ah itu pantas untuk dibakar. Namun tanpa disengaja ia telah berhadapan muka dengan muka dengan para bida'ah, dan terpaksa menguji kemampuan teologi Romanisme melawan ajaran Protestan.
Seorang keponakan Calvin, yang telah bergabung dengan para Pembaharu, berada di Paris. Dua orang berkeluarga ini sering bertemu, dan memperbincangkan hal-hal yang mengganggu Kekristenan. "Hanya ada dua agama di dunia ini," kata Olivetan, orang Protestan itu. "Salah satu diantaranya ialah agama yang diciptakan oleh manusia, yang oleh manusia menyelamatkan dirinya melalui upacara-upacara dan perbuatan-perbuatan baik. Dan yang satu lagi ialah agama yang dinyatakan di dalam Alkitab, dan yang mengajar manusia untuk mencari keselamatan yang semata-mata adalah kasih karunia Allah yang diberikan dengan cuma-cuma."
"Saya tidak memerlukan ajaran barumu itu," seru Calvin, "apakah kamu pikir saya telah hidup dalam kesalahan selama hidup saya?" -- Wylie, b. 13, ch. 7.
Tetapi pikiran telah timbul di benaknya yang tidak bisa dihilangkannya. Dalam kesendirian di kamarnya, ia merenungkan kata-kata keponakannya itu. Ia percaya dosa melekat kepadanya. Ia melihat dirinya tanpa perantara, dihadapan Hakim yang kudus dan adil. Pengantaraan orang-orang saleh, pekerjaan-pekerjaan baik, upacara-upacara gereja, semuanya tidak berkuasa untuk menghapuskan dosa. Ia tidak dapat melihat apa-apapun selain keputus-asaan abadi yang menyelubunginya. Sia-sia segala usaha para doktor gereja untuk menghilangkan kesusahannya. Pengakuan dosa, penyiksaan diri, semuanya adalah sia-sia. Tidak dapat memperdamaikan jiwa dengan Allah.
Sementara bergumul dalam kesia-sian ini, Calvin berkesempatan pergi ke sebuah alun-alun untuk menyaksikan pembakaran seorang bida'ah. Ia sangat kagum melihat ekspresi kedamaian yang memenuhi wajah syuhada itu. Di tengah-tengah penyiksaan kematian yang mengerikan dan hukuman gereja yang menakutkan itu, sang martir atau syuhada itu menyatakan satu iman dan keberanian, yang bagi mahasiswa muda itu sulit untuk membandingkan dengan keputus-asaan dan kegelapan dirinya sendiri, walaupun ia hidup dengan sangat patuh kepada gereja. Ia mengetahui para bida'ah itu mengalaskan iman mereka kepada Alkitab. Ia bertekad untuk mempelajari Alkitab, dan menemukan, jika mungkin, rahasia sukacita mereka.
Ia menemukan Kristus di dalam Alkitab. "O, Bapa," serunya, "pengorbanan-Nya telah meredakan murka-Mu. Darah-Nya telah mencuci kekotoranku. Salib-Nya telah menanggung kutukku, dan kematian-Nya telah menebus aku. Kami telah membuat bagi kami kebodohan yang tidak berguna, tetapi Engkau telah menempatkan firman-Mu di hadapanku bagaikan obor, dan Engkau telah menjamah hatiku, agar aku boleh menganggap jasa-jasa lain sebagai kebencian selain jasa Yesus." -- Martyn, Vol. III, ch. 13.
Calvin telah dididik untuk menjadi seorang imam. Pada usia yang baru dua belas tahun ia telah ditugaskan sebagai gembala di jemaat kecil, dan kepalanya dicukur oleh uskup sesuai dengan peraturan gereja. Ia tidak ditahbiskan dan tidak memenuhi tugas-tugas seorang imam, tetapi ia menjadi anggota para rohaniawan, dan memegang jabatan ini serta menerima tunjangan sebagaimana mestinya.
Sekarang, merasa bahwa ia tidak akan pernah menjadi seorang imam, untuk sementara ia mempelajari ilmu hukum. Tetapi akhirnya ia meninggalkan niatnya ini dan membaktikan hidupnya kepada Injil. Tetapi ia tidak mau menjadi guru bagi masyarakat. Sebagai seorang pemalu, ia dibebani dengan rasa tanggungjawab jabatan yang berat. Dan oleh sebab itu ia ingin untuk terus belajar. Namun, atas permohonan sungguh-sungguh sahabat-sahabatnya, akhirnya ia setuju menjadi guru. "Mengherankan," bahwa seorang yang asalnya hina harus ditinggikan kepada keagungan." -- Wylie, b. 13, ch. 9.
Ia memulai pekerjaannya dengan diam-diam, dan kata-katanya bagaikan embun pagi yang menyegarkan bumi. Ia telah meninggalkan Paris, dan sekarang ia berada di sebuah kota propinsi di bawah lindungan putri Margaret, yang karena mencintai Injil, memberikan perlindungan kepada murid-murid Injil itu. Calvin masih seorang pemuda dengan penampilan lemah lembut dan sederhana, tidak sombong. Pekerjaannya dimulainya di rumah orang-orang. Dengan dikelilingi oleh anggota keluarga di rumah itu ia membaca Alkitab, dan membukakan kebenaran keselamatan. Mereka yang mendengarkan pekabaran itu memberitahukan kabar baik itu kepada orang-orang lain. Tidak lama kemudian guru Injil itu melewati kota ke kota-kota kecil dan desa-desa. Ia dapat masuk ke kastel dan gubuk, dan maju terus meletakkan dasar gereja-gereja yang akan menghasilkan kesaksian-kesaksian tanpa gentar bagi kebenaran.
Beberapa bulan kemudian ia kembali ke Paris. Ada hasutan luar biasa di kalangan kaum terpelajar dan cendekiawan. Pelajaran bahasa-bahasa kuno telah menuntun mereka kepada Alkitab, dan banyak dari mereka yang hatinya belum dijamah kebenaran, ingin mendiskusikannya, dan bahkan ada yang menyerang pejabat-pejabat Romanisme. Calvin, walaupun seorang yang mahir berdebat mengenai pertikaian teologia, mempunyai misi lain yang hendak dicapai, yang lebih tinggi dari pada orang-orang pendidikan yang ribut itu. Pikiran orang-orang telah digerakkan, dan sekaranglah waktunya untuk membukakan kebenaran itu kepada mereka. Sementara ruangan-ruangan universitas dipenuhi dengan perdebatan masalah teologia, Calvin bekerja dari rumah ke rumah, membukakan Alkitab kepada orang-orang, dan berbicara kepada mereka dari hal Kristus dan penyaliban-Nya.
Dengan pertolongan Tuhan, Paris menerima undangan lain untuk menerima Injil. Panggilan Lefevre dan Farel telah ditolak, tetapi sekali lagi pekabaran ini akan didengarkan oleh semua kalangan masyarakat di ibukota yang besar itu. Raja, yang dipengaruhi pertimbangan-pertimbangan politik, belum sepenuhnya memihak Roma melawan Pembaharuan. Putri Margaret masih mengharapkan agar Protestantisme menang di Perancis. Ia memutuskan agar iman yang diperbaharui itu dikhotbahkan di Paris. Pada waktu raja tidak ada, ia memerintahkan seorang pendeta Protestan berkhotbah di gereja-gereja di kota itu. Sebenarnya hal itu dilarang oleh pejabat-pejabat kepausan, tetapi ia, putri, membukakan istana. Sebuah apartemen dibuat sebagai kapel, dan diumumkan bahwa setiap hari pada jam-jam tertentu, sebuah khotbah akan dikhotbahkan, dan orang-orang dari semua golongan diundang untuk mengikutinya. Orang banyak memadati kebaktian itu. Bukan hanya kapel itu, juga ruang di depannya dan gang-gang telah dipadati. Ribuan orang berkumpul setiap hari -- para bangsawan, negarawan, ahli-ahli hukum, pedagang dan para pekerja. Sebagai gantinya melarang perkumpulan itu, raja memerintahkan agar dua gereja di Paris dibuka. Belum pernah sebelumnya kota itu digerakkan oleh firman Allah seperti itu. Roh kehidupan dari Surga tampaknya diturunkan kepada orang-orang. Penahanan diri atau pertarakan, kesucian, keteraturan dan kerajinan telah menggantikan kemabukan, ketidak-bermoralan, perbantahan dan kemalasan.
Akan tetapi hirarki tidak tinggal diam. Oleh karena raja masih tetap menolak untuk menghentikan pengkhotbahan, maka mereka berbalik kepada penduduk. Segala usaha dilakukan untuk menimbulkan ketakutan, prasangka buruk dan kefanatikan orang banyak yang masih bodoh dan percaya ketakhyulan. Secara membabi buta percaya kepada guru-guru palsu, seperti Yerusalem pada zaman dahulu, Paris tidak menyadari bencana atau hal-hal yang menjadi kedamaiannya. Selama dua tahun lamanya firman Allah dikhotbahkan di ibukota ini. Tetapi sementara banyak yang menerima Injil, kebanyakan orang masih menolaknya. Francis menunjukkan rasa toleransinya, semata-mata hanya untuk kepentingan maksud-maksudnya, dan para pengikut kepausan berhasil memperoleh kembali kekuasaannya. Sekali lagi gereja-gereja ditutup, dan tiang gantungan didirikan.
Calvin masih di Paris, mempersiapkan diri dengan belajar, bermeditasi dan berdoa demi pekerjaannya dikemudian hari, dan meneruskan menyebarkan terang kebenaran. Namun, akhirnya ia dicurigai juga. Para penguasa memutuskan untuk membakarnya. Ia tidak menyadari bahaya yang mengancamnya di tempat persembunyiannya. Sahabat-sahabatnya bergegas kekamarnya menemuinya dengan membawa kabar bahwa pejabat-pejabat penguasa sedang menuju ke tempatnya untuk menangkapnya. Seketika itu juga ketokan keras terdengar di pintu luar. Tak sesaatpun yang bisa disia-siakan. Sebahagian sahabat-sahabatnya menahan para pejabat penguasa itu di pintu, sementara yang lain menolong Pembaharu itu keluar dari jendela dan segera melarikan diri ke luar kota. Ia berlindung di pondok seorang pekerja yang menjadi teman pembaharuan. Ia menyamar dengan memakai jubah pekerja itu dan sambil menyandang cangkul ia meneruskan perjalanannya. Ia berjalan menuju Selatan dan mendapat perlindungan di tempat Putri Margaret. -- Lihat D'Aubigne, "History of the Reformation in the Time of Calvin," b. 2, ch. 30.
Ia tinggal beberapa bulan di sini, aman dalam perlindungan teman-temannya yang kuat, dan seperti sebelumnya menyibukkan diri dengan belajar. Tetapi hatinya sudah terpaut dengan evangelisasi Perancis, sehingga ia tidak bisa berlama-lama tidak aktif. Segera setelah badai amarah mulai reda, ia mencari ladang baru di Poitiers, dimana ada satu universitas, dan dimana pendapat baru telah mendapat perhatian. Orang-orang dan semua golongan mendengarkan Injil itu dengan sukacita. Tidak diadakan ceramah umum. Tetapi Calvin membukakan firman hidup kekal itu kepada mereka yang ingin mendengarkan di rumah hakim ketua, di tempat penginapannya dan kadang-kadang di taman kota. Pada suatu hari, pada waktu pendengar semakin bertambah, dirasakan akan lebih aman jika mereka berkumpul di luar kota. Maka dipilihlah sebuah gua ditepi sebauh jurang yang dalam, yang ditumbuhi pepohonan dan ada batu-batu bergantung menjadi tempat berkumpul terpencil yang aman. Mereka meninggalkan kota dalam kelompok-kelompok kecil dengan jurusan yang berbeda menuju tempat ini. Di tempat tersembunyi inilah Alkitab dibacakan dan diterangkan. Di tempat ini jugalah perjamuan kudus Tuhan dirayakan pertama kali oleh orang-orang Protestan Perancis. Dari jemaat kecil inilah beberapa pemberita Injil diutus keluar.
Sekali lagi Calvin kembali ke kota Paris. Ia belum putus asa bahwa Perancis sebagai bangsa, akan menerima Pembaharuan. Tetapi ia mendapati semua pintu untuk pembaharuan tertutup. Mengajarkan Injil disana berarti mengambil jalan pintas menuju tiang gantungan. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke Jerman. Tidak mungkin ia meninggalkan Perancis pada waktu badai kesusahan melanda orang-orang Protestan, yang kalau ia tinggal, pasti terlibat dalam kencuran.
Para Pembaharu Perancis ingin melihat negerinya sejajar dengan Jerman dan Swis, lalu memutuskan untuk menyerang ketakhyulan Roma dengan membangkitkan seluruh bangsa itu. Pada suatu malam selebaran-selebaran yang menyerang upacara misa kudus telah ditempelkan di seluruh Peancis. Gantinya memajukan Pembaharuan, gerakan yang bersemangat tetapi kurang pertimbangan ini justrus membawa kehancuran bukan saja kepada para pencetus gerakan, tetapi juga kepada semua sahabat-sahabat iman yang telah dibaharui di seluruh Perancis. Gerakan itu memberikan kepada para pengikut Roma apa yang telah lama diidam-idamkannya -- alasan yang dibuat-buat untuk membinasakan para bida'ah sebagai penghasut yang membahayakan kestabilan takhta kerajan dan perdamaian bangsa.
Salah satu selebaran itu telah ditempelkan di pintu ruang pribadi raja oleh orang yang tidak diketahui, apakah oleh teman atau musuh yang mau mendiskreditkan para pembaharu tidak diketahui dengan pasti. Raja menjadi sangat ketakutan. Dalam selebaran itu, ketakhyulan yang telah dihormati selama berabad-abad lamanya, diserang dengan gencarnya. Raja sangat murka karena keberanian orang memasuki daerah istana dan menempelkan selebaran itu. Dalam keheranannya ia berdiri sejenak gemetar tanpa bicara. Kemudian amarahnya meluap dengan kata-kata beikut ini, "Tangkap semua orang tanpa kecuali yang dicurigai sebagai pengikut Lutherisme. Saya akan membinasakan mereka semua." D'Aubigne, "History of the Reformation in the Time of Calvin," b. 4, ch. 10. Dadu telah dilemparkan. Raja telah menentukan dirinya sepenuhnya berada di pihat Roma.
Usaha-usaha segera dilakukan untuk menangkap semua pengikut Luther di Paris. Seorang pekerja yang miskin pengikut iman yang diperbaharui, yang biasa memanggil orang-orang percaya ke perkumpulan rahasia mereka, telah ditangkap dan diancam dengan hukuman mati di tiang gantungan waktu itu juga, diperintahkan untuk menuntun pesuruh-pesuruh kepausan ke rumah-rumah orang-orang Protestan di kota itu. Ia terkejut mendengar maksud jahat itu, tetapi ketakutan akan nyala api menguasai dirinya, lalu setuju menjadi pengkhianat saudara-saudaranya. Dengan didahului oleh sejumlah besar orang, dan dikelilingi oleh serombongan imam, pembawa dupa, para biarawan dan tentara, Morin, detektif kerajaan bersama pengkhianat, dengan perlahan-lahan dan dengan tenang melalui jalan-jalan kota. Pertunjukan ini adalah pura-pura menghormati "sakramen kudus", suatu pemulihan kepada penghinaan yang dilontarkan para pemrotes kepada upacara misa. Tetapi di balik pertunjukan itu tersembunyi maksud jahat. Pada waktu tiba bertepatan dengan rumah seorang pengikut Luther, pengkhianat itu memberi tanda tanpa berkata apa-apa. Rombongan pawai itu berhenti, rumah itu dimasuki, dan keluarga penghuninya diseret keluar dan dirantai, dan begitulah rombongan manusia kejam itu maju terus mencari mangsanya. Mereka "tidak melewatkan satu rumahpun, besar atau kecil, perguruan tinggi-perguruan tinggi Universitas Parispun tidak . . . . Morin menggoncangkan seluruh kota . . . . Benar-benar suatu teror." -- Idem, b. 4, ch. 10.
Para korban dihukum mati dengan siksaan kejam. Secara khusus diperintahkan agar api dikecilkan untuk memperpanjang penderitaan mereka. Tetapi mereka mati sebagai penakluk atau pemenang. Ketetapan hati mereka tak tergoyahkan, kedamaian mereka tidak dapat ditutupi. Para penganiaya, yang tak mampu menggoyahkan hati mereka, merasa dikalahkan. "Tiang-tiang gantungan dibagikan ke segenap bagian kota Paris, dan pembakaran berlangsung pada hari berikutnya. Tujuannya untuk menyebarkan tempat pelaksanaan hukuman mati itu ialah untuk menteror para bida'ah. Namun, pada akhirnya mendatangkan kemajuan bagi pekabaran Injil. Seluruh Paris dapat melihat manusia yang bagaimanakah yang dihasilkan oleh pandangan baru itu. Tidak ada mimbar seperti tumpukan para syuhada itu. Sukacita yang damai yang menerangi wajah-wajah orang ini sementara mereka melewati . . . ke tempat pelaksanaan hukuman mati, keperkasaan mereka sementara berdiri di tengah-tengah api yang menyala-nyala, kerendahan hati mereka untuk mengampuni sekalipun mereka disakiti, mengubahkan tidak sedikit pada waktu itu kemarahan menjadi belas kasihan, kebencian menjadi kasih sayang, dan kata-kata pembelaan dengan kemahiran berbicara yang tidak bisa disangkal demi kepentingan Injil." -- Wylie, b. 13, ch. 20.
Untuk menjaga kemarahan umum tetap memuncak, imam-imam mengedarkan tuduhan paling keji terhadap Protestan. Mereka dituduh berkomplot mengadakan pembunuhan masal orang-orang Katolik, menggulingkan pemerintahan dan membunuh raja. Tak secercah buktipun yang dapat menguatkan tuduhan itu. Meskipun demikian nubuatan kejahatan ini harus digenapi, tetapi dengan keadaan yang sangat berbeda dan dengan alasan yang sangat bertentangan. Kekejaman yang dilakukan kepada orang-orang Protestan yang tidak bersalah itu oleh orang-orang Katolik semakin memuncak sebagai hukuman dan pembalasan. Dan pada abad-abad selanjutnya terjadi malapetaka yang diramalkan akan terjadi terhadap raja, pemerintahannya dan rakyatnya. Tetapi semuanya itu dilakukan oleh orang-orang kafir dan oleh pengikut kepausan sendiri. Ini tidak berarti pembentukan Protestan, tetapi penindasan, yang tiga abad kemudian mendatangkan malapetaka besar bagi Perancis.
Kecurigaan, ketidak percayaan dan teror sekarang melanda seluruh lapisan masyarakat. Di tengah-tengah ketakutan umum terlihat betapa dalamnya masuk ajaran Lutheran ke dalam pikiran orang-orang yang berpendidikan tinggi, yang berpengaruh dan yang bertabiat baik. Posisi kepercayaan dan kehormatan kosong seketika. Para pekerja, pencetak, kaum cendekiawan, profesi di universitas, pengarang, dan bahkan pegawai tinggi istana, menghilang. Ratusan orang melarikan diri dari Paris, mengasingkan diri dari negerinya. Dalam berbagai kasus hal ini memberikan isyarat pertama bahwa mereka menyukai iman yang dibaharui itu. Para pengikut kepausan memandang mereka dengan kekerasan, memikirkan orang-orang bida'ah yang tidak mereka duga telah diterima di antara mereka. Mereka melampiaskan nafsu kemarahan mereka kepada banyak korban yang lebih rendah yang dalam jangkauan kekuasaan mereka. Penjara-penjara penuh sesak, dan udara tampaknya digelapkan oleh asap pembakaran yang dinyalakan bagi mereka yang mengakui Injil.
Francis I merasa bangga sebagai pemimpin gerakan besar untuk kebangkitan kembali pendidikan yang menandai permulaan abad ke enam belas. Ia bergembira mengumpulkan di istananya para sasterawan dari setiap negeri. Oleh karena kecintaannya kepada pendidikan dan kebenciannya kepada kebodohan dan ketakhyulan para biarawan telah tiba waktunya, paling sedikit sebagian, memberikan tingkat toleransi kepada pembaharuan. Tetapi, diilhami oleh semangat untuk menumpas para bida'ah, pelindung pendidikan ini mengeluarkan sebuah keputusan untuk menghapuskan semua percetakan di seluruh Perancis. Francis I memberikan salah satu dari sekian banyak contoh catatan yang menunjukkan bahwa kebudayaan intelektual bukanlah jaminan yang aman bagi perlawanan terhadap sikap tidak toleran beragama dan penganiayaan.
Perancis merencanakan akan mengadakan satu upacara umum yang khidmat untuk membulatkan tekad melenyapkan Protestantisme sepenuhnya. Imam-imam menuntut, penghinaan yang dilontarkan kepada Surga Yang Mahatinggi dengan mengutuk upacara misa, agar ditebus dengan darah, dan agar raja, atas nama paus, memberikan sanksinya secara terbuka kepada pekerjaan yang menakutkan itu.
Maka ditentukanlah tanggal 21 Januari 1535 tanggal penyelenggaraan upacara itu. Rasa rakut ketakhyulan dan dendam kesumat seluruh bangsa itu telah dibangkitkan. Kota Paris dipadati orang-orang negeri sekitarnya memenuhi jalan-jalannya. Datangnya hari itu disambut dengan sebuah arak-arakan besar yang menakjubkan. "Dari rumah yang ada di sepanjang jalan yang dilalui barisan arak-arakan bergelantungan kain lambang kedukaan, dan mezbah-mezbah dibangun berselang-seling." Di depan setiap pintu ditempatkan sebuah obor yang sedang menyala sebagai tanda penghormatan kepada "upacara kudus" itu. Sebelum matahari terbit, arak-arakan itu telah disiapkan di istana raja. "Di baris depan terdapat bendera-bendera dan salib-salib dari beberapa gereja, kemudian nampak penduduk yang berjalan berdua-dua sambil membawa obor." Kemudian menyusul keempat ordo biarawan, masing-masing dengan pakaian mereka yang khas. Lalu menyusul koleksi benda-benda peninggalan masa lalu. Sesudah ini menyusul rohaniawan dengan jubah merah dan ungu dengan perhiasan permata yang berkilau-kilauan.
"Roti ekaristi dibawa oleh uskup Paris yang ditutupi dengan tudung yang megah, . . . ditopang oleh empat orang pangeran upacara berdarah . . . . Di belakang roti itu berjalan raja . . . . Francis I pada hari itu tidak mengenakan mahkota, atau jubah kenegaraan." Dengan "kepala yang terbuka, matanya melihat ke tanah, dan tangannya memegang lilin yang sedang menyala," raja Perancis itu tampak "seperti seorang berdosa yang bertobat." -- Wylie, b. 13, ch. 21. Di setiap mezbah ia tunduk merendahkan diri, bukan bagi dosa-dosanya yang mencemarkan jiwanya atau darah orang-orang yang tidak bersalah yang mengotori tangannya, tetapi bagi dosa rakyatnya yang berani mencela upacara misa. Dibelakangnya menyusul ratu dan pejabat-pejabat tinggi negara, yang berjalan berdua-dua, masing-masing membawa obor yang menyala.
Sebagai bagian dari upacara hari itu, raja sendiri memberi amanat kepada pejabat-pejabat tinggi kerajaan di ruangan besar istana keuskupan. Dengan muka sedih ia tampil di depan mereka, dan dengan kata-kata yang lancar ia meratap, "kejahatan, penghujatan, hari kedukaan dan memalukan," telah datang menimpa bangsa ini. Dan ia menghimbau semua rakyat yang setia untuk membantu membasmi bida'ah yang mengancam kehancuran Perancis. "Tuan-tuan, sebagaimana sebenarnya saya adalah rajamu," katanya, "jikalau saya tahu salah satu anggota tubuhku diketahui ternoda atau terinfeksi dengan kebusukan, saya akan menyerahkannya kepadamu untuk dipotong . . . . Dan lebih jauh, jika saya melihat salah seorang anak saya tercemar olehnya, saya tidak akan menyayangkannya . . . . Saya akan menyerahkannya dan mengorbankannya kepada Allah." Air matanya menyumbat kata-katanya, dan seluruh hadirin menangis, dan dengan suara bulat berseru, "Kami mau hidup dan mati demi agama Katolik!" -- D'Aubigne, "History of the Reformation in the Time of Calvin," b. 4, ch. 12.
Kengerian menutupi bangsa yang menolak terang kebenaran. "Kasih karunia yang membawa keselamatan" telah tampak; tetapi Perancis, setelah memandang kuasa dan kesuciannya, setelah beribu-ribu orang yang telah ditarik oleh keelokan ilahi, setelah kota-kota dan desa-desa diterangi oleh sinarnya, telah meninggalkan dan memilih kegelapan lebih dari pada terang. Mereka telah menolak karunia Surgawi yang ditawarkan kepada mereka. Mereka telah mengatakan yang jahat itu baik, dan yang baik itu jahat, sampai mereka jatuh menjadi korban penipuan diri sendiri. Sekarang, walaupun mungkin mereka percaya bahwa mereka sedang melakukan pekerjaan Allah dalam menyiksa umat-umat-Nya, namun kesungguh-sungguhan mereka itu tidak membuat mereka tidak bersalah. Mereka telah dengan sengaja menolak terang yang akan menyelamatkan mereka dari penipuan, dari penodaan jiwa mereka dengan dosa penumpahan darah.
Mereka telah bersumpah untuk menumpas bida'ah di katedral yang besar, dimana hampir tiga abad kemudian, "Dewi Pemikir" akan dinobatkan bangsa itu yang telah menolak Allah yang hidup. Sekali lagi arak-arakan dibentuk dan utusn Perancis pergi memulai pekerjaan yang mereka telah bersumpah untuk melakukannya. "Tiang-tiang gantungan didirikan dalam jarak yang berdekatan, tempat membakar hidup-hidup orang-orang Kristen Protestan tertentu. Dan telah diatur, agar tumpukan kayu api dinyalakan pada waktu raja mendekat, dan arak-arakan harus berhenti meyaksikan pelaksanaan hukuman mati itu." -- Wylie, b. 13, ch. 21. Rincian penganiayaan yang ditanggung oleh saksi-saksi Kristus itu terlalu ngeri untuk diceriterakan kembali, tetapi para korban itu sedikitpun tidak goyah. Pada waktu didorong untuk menarik kembali imannya, seseorang justeru berkata, "Saya hanya percaya pada apa yang dahulu dikhotbahkan oleh para nabi dan rasul-rasul, dan apa yang persekutuan semua orang-orang saleh percayai. Imanku percaya pada Allah yang akan melawan semua kuasa neraka." -- D'Aubigne, "History of the Reformation in the Time of Calvin," b. 4, ch. 12.
Berulang-ulang arak-arakan itu berhenti di tempat-tempat penganiayaan. Setelah kembali di istana raja darimana arak-arakan itu dimulai, orang-orang ramai itu membubarkan diri, dan raja serta para pejabat tinggi agama pulang, merasa puas dengan pekerjaan hari itu, dan mengucapkan selamat kepada mereka sendiri, dan bahwa pekerjaan yang sekarang dimulai akan diteruskan sampai selesai pembasmian para bida'ah itu.
Injil perdamaian yang telah ditolak oleh Perancis cepat atau lambat pasti akan tercabut, dan akibatnya sungguh mengerikan. Pada tanggal 21 Januari 1793, dua ratus lima puluh delapan tahun sesudah Perancis bersumpah untuk menganiaya para Pembaharu, arak-arakan lain melintasi jalan-jalan kota Paris, dengan tujuan yang sangat berbeda. "Sekali lagi raja menjadi figur utama. Sekali lagi ada kegaduhan dan teriakan. Sekali lagi terdengar teriakan mencari lebih banyak mangsa atau korban. Sekali lagi ada tiang-tiang gantungan atau panggung. Dan sekali lagi pemandangan hari itu ditutup dengan pelaksanaan hukuman yang mengerikan. Louis XVI, yang berjuang melawan para penjaga penjara dan para pelaksana hukuman, diseret ke tempat pelaksanaan hukuman, dan di sini ia dipegangi dengan kuat sampai kampak dijatuhkan memotong lehernya, dan kepalanya yang sudah terpisah dari badan itu bergulir dari atas panggung pelaksanaan hukuman." -- Wylie, b. 13, ch. 21. Bukan hanya raja yang menjadi korban. Didekat tempat yang sama dua ribu delapan ratus orang anak manusia dibinasakan dengan pisau gulotin (alat pemenggal) selama hari-hari berdarah Pemerintahan Teror itu.
Pembaharuan telah menjanjikan kepada dunia ini Alkitab yang terbuka, membukakan ajaran-ajaran hukum Allah, dan mendorong hati nurani manusia. Kasih yang Takterbatas itu telah membukakan kepada manusia ketetapan-ketetapan dan prinsip-prinsip Surga. Allah telah bersabda, "Lakukanlah itu dengan setia, sebab itulah yang menjadi kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa yang pada waktu mendengar segala ketetapan ini akan berkata: Memang bangsa yang besar ini adalah umat yang bijaksana dan berakal budi." (Ulangan 4:6). Pada waktu Perancis menolak karunia Surga, ia menaburkan bibit anarki dan kebinasaan. Dan sebagai sebab dan akibatnya adalah Revolusi dan Pemerintahan Teror.
Lama sebelum penganiayaan dibangkitkan oleh selebaran-selebara itu, Farel, sipemberani dan yang rajin telah melarikan diri dari tanah kelahirannya. Ia pergi ke Swis, dan dengan usahanya ia meneruskan usaha Zwingle. Ia membantu majunya gerakan Pembaharuan. Ia menggunakan waktunya selanjutnya di sini, namun ia terus memberikan pengaruh yang menentukan kepada Pembaharuan di Perancis. Pada tahun pertama pengasingannya, usaha-usaha secara khusus ditujukan kepada peyebaran Injil di tanah airnya. Ia menggunakan banyak waktu berkhotbah kepada teman-teman senegaranya dekat perbatasan, dimana dengan kewaspadaan yang tinggi ia memperhtikan pertentangan itu, dan membantu mereka dengan kata-kata dorongan dan nasihat. Dengan bantuan orang-rang yang diasingkan lainnya, tulisan-tulisan para Pembaharu Jerman diterjemahkan kedalam bahasa Perancis, dan bersama-sam dengan Alkitab bahasa Perancis dicetak dalam jumlah yang besar. Buku-buku atau tulisan-tulisan ini dijual secara luas di Perancis oleh para kolportir. Buku-buku itu dijual dengan harga yang lebih rendah kepada para kolportir, sehingga denga keuntungan pekerjaan mereka sanggup meneruska penyebaran buku-buku itu.
Farel memulai pekerjaannya di Swis dengan menyamar sebagai guru sekolah yang sederhana. Ia pergi ke salah satu gereja yang terpencil, dan di sanalah ia membaktikan dirinya mengajar anak-anak. Selain mata pelajaran yang biasa, dengan hati-hati ia memperkenalkan kebenaran Alkitab, dengan harapan melalui anak-anaknya dapat menjangkau orang-orang tua. Ada beberapa orang yang percaya, tetapi imam-imam segera datang untuk menghentikan kegiatan itu, dan orang-orang yang masih percaya kepada ketakhyulan bangkit menentangnya. "Tidak mungkin ini Injil Kristus," desak para imam, "karena dengan mengkhotbahkannya tidak membawa damai, melainkan perang." -- Wylie, b. 14, ch. 3. Sebagaimana murid-murid yang mula-mula, bilamana dianiaya di suatu kota ia pergi ke kota lain. Dari desa ke desa, dari kota ke kota, ia pergi berjalan kaki menahan lapar, dingin dan keletihan, dan dimana-mana hidupnya terancam bahaya. Ia berkhotbah di pasar-pasar, di gereja-gereja, kadang-kadang di mimbar katedral. Kadang-kadang ia mendapati gereja itu kosong tanpa pendengar. Suatu waktu khotbahnya diganggu dengan teriakan dan cemoohan. Untuk kesekian kalinya ia diseret dengan kasar dari mimbar. Lebih dari sekali ia diserang orang gembel, dan dipukuli hampir mati. Namun, ia terus maju. Walaupun ia sering ditolak, tetapi dengan tidak mengenal lelah ia datang kembali. Ia melihat kota-kota kecil dan besar yang menjadi benteng kepausan, satu persatu membuka pintu gerbangnya bagi kabar Injil. Gereja kecil, dimana ia pertama sekali bekerja, tidak lama kemudian menerima iman yang dibaharui itu. Kota-kota Morat dan Neuchatel juga menolak upacara-upacara Romawi, dan membuangkan patung-patung berhala dari gereja-gereja mereka.
Farel sudah sejak lama ingin menanamkan standar Protestan di Geneva. Jika sekiranya kota ini bisa dimenangkan, kota ini akan menjadi pusat Pembaharuan di Perancis, Swis dan Italia. Dengan pemikiran ini di benaknya, ia meneruskan pekerjaannya, sehingga banyak kota-kota dan desa-desa disekitarnya telah dimenangkan. Kemudian, bersama seorang teman, ia memasuki kota Geneva. Tetapi hanya dua khotbah yang diizinkn dikhotbahkan. Karena gagal berusaha menghukumnya melalui penguasa sipil, imam-imam memanggilnya menghadap majelis rohaniawan. Mereka datang ke majelis itu dengan membawa senjata yang disembunyikan di balik jubahnya. Mereka bermaksud untuk menghabisi nyawanya. Di luar gedung, segerombolan rakyat yang mengamuk dengan membawa pemukul dan pedang telah menanti untuk membunuhnya, jika seandainya ia berhasil melarikan diri dari majelis itu. Akan tetapi, kehadiran para hakim dan tentara di dalam majelis menyelamatkan nyawanya. Besoknya pagi-pagi benar ia bersama temannya dituntun melalui danau ke tempat yang aman. Dengan demikian berakhirlah usahanya yang pertama untuk memberitakan Injil di Geneva.
Pada usaha berikutnya, dipilih alat yang lebih sederhana -- seorang pemuda yang berpenampilan sederhana, sehingga ia disambut dingin bahkan oleh mereka yang mengaku sahabat-sahabat pembaharuan. Tetapi apalah yang bisa dilakukan oleh orang yang seperti itu, dimana Farelpun sudah ditolak? Bagaimanakah mungkin seorang yang kurang berani dan kurang pengalaman dapat menahan topan dimana seorang yang paling berani dan paling kuat sekalipun telah terpaksa melarikan diri? "Bukan dengan keperkasaan, dan bukan dengan kekuatan, melainkan dengan roh-Ku, firman Tuhan semesta alam."( Zakaria 4:6). "Apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan yang kuat." "Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya daripada manusia, dan yang lemah dari Allah lebih kuat daripada manusia." (1 Kor. 1: 27, 25).
Froment memulai pekerjannya sebagai guru sekolah. Kebenaran yang diajarkannya kepada murid-murid di sekolah, diulangi oleh murid-murid itu di rumah mereka. Tidak lama kemudian para orang tua datang untuk mendengarkan Alkitab diterangkan, sehingga ruang kelas penuh dengan pendengar-pendengar yang aktif. Buku Perjanjian Baru dan risalah-risalah dibagikan dengan cuma-cuma, bahkan sampai juga kepada orang-orang yang tidak berani datang dengan terang-terangan untuk mendengarkan ajaran baru itu. Tidak lama kemudian pekerja inipun terpaksa juga melrikan diri. Tetapi kebenaran yang diajarkannya telah mengambil tempat dalam pikiran orang-orang. Pembaharuan (Reformasi) sudah ditanamkan dan terus semakin kuat dan semakin meluas. Para pengkhotbah kembali ke Geneva, dan melalui usaha-usaha mereka akhirnya perbaktian Protestan ditetapkan di Geneva.
Kota itu telah dinyatakan bagi Pembaharuan pada waktu Calvin memasuki pintu gerbangnya, setelah melalui berbagai pengembaraan dan perubahan. Waktu kembali dari kunjungannya yang terakhir ke tempat kelahirannya, ia pergi ke Basel. Ketika didapatinya jalan yang langsung diduduki oleh tentara Charles V, ia terpaks mengambil jalan keliling melalui Geneva.
Dalam kunjungan ini, Farel menyadari pertolongan tangan Allah. Meskipun Geneva telah menerima iman yang dibaharui, namun pekerjaan besar masih harus dilakukan disana. Bukan sebagai masyarakat, tetapi sebagai perorangan orang-orang ditobatkan kepada Allah. Pekerjaan regenerasi atau pembaharuan hidup harus dilaksanakan di dalam hati dan dalam hati nurani seseorang oleh karena kuasa Roh Kudus, bukan oleh dekrit-dekrit konsili. Sementara orang-orang di Geneva telah meninggalkan kekuasaan Roma, mereka belum begitu bersedia untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang tumbuh subur dibawah kekuasaannya. Untuk mendirikan prinsip-prinsip Injil yang murni disini, dan untuk mempersiapkan orang-orang ini mengisi kedudukan mulia kepada mana Allah tampaknya memanggil mereka, bukanlah suatu tugas yang mudah.
Farel yakin bahwa ia telah menemukan Calvin sebagai seorang yang bisa bersatu dengan dia untuk melakukan pekerjaan ini. Dalam nama Allah, ia memohon dengan sungguh-sungguh agar evangelis muda itu tinggal dan bekerja di situ. Calvin mengundurkan diri dengan ketakutan. Sebagai seorang pemalu dan yang cinta damai, ia takut berhubungan dengan orang-orang Geneva yang pemberani, yang bebas, dan bahkan yang mempunyai semangat yang keras. Kesehatannya yang buruk, ditambah dengan kebiasaannya yang rajin belajar, membuat ia mencari tempat untuk mengasingkan diri. Percaya bahwa melalui tulisan-tulisannya ia bisa melayani pekerjaan pembaharuan itu, ia ingin mendapatkan satu tempat retrit yang tenang untuk belajar. Di sana, melalui percetakan, ia mengajar dan membangun gereja-gereja. Tetapi nasihat Farel yang datang kepadanya sebagai satu panggilan dari Surga, ia tidak berani menolaknya. Tampaknya kepadanya, katanya, "bahwa tangan Allah direntangkan dari Surga, dan memegangnya, dan menetapkannya tanpa bisa dibantah ke tempat kemana ia akan pergi." -- D'Aubigne, "History of the Reformatin in the Time of Calvin," b. 9, ch. 17.
Pada waktu ini pekerjaan dan kepentingan Protestan diliputi oleh bahaya besar. Kutukan paus menggeledek terhadap Geneva, dan bangsa-bangsa yang kuat itu mengancam untuk membinasakan. Bagaimana mungkin kota kecil ini dapat menahan hirarki yang begitu kuat yang telah sering memaksa raja-raja dan kaisar-kaisar untuk tunduk? Bagaimana mungkin ia bisa bertahan melawan tentara dari penakluk besar dunia?
Sepanjang sejarah Kekristenan, Protestantisme diancam oleh musuh-musuh yang menakutkan. Kemenangan pertama Pembaharuan berlalu. Roma membentuk pasukan baru, dengan harapan agar dapat membinasakan musuh-musuhnya. Pada waktu ini ordo Yesuit dibentuk, pembela-pembela kepausan yang paling kejam, yang bertindak semaunya dan sangat berkuasa. Mereka terputus dengan ikatan duniawi dan kepentingan manusia, mati terhadap kasih sayang alami. Pertimbangan dan suara hati nurani telah dibungkemkan seluruhnya. Mereka tidak mengenal aturan, tidak ada ikatan, kecuali dengan ordonya sendiri. Dan tidak ada tugas-tugas lain selain yang berhubungan dengan ordonya sendiri. -- Lihat Lampiran. Injil Kristus telah menyanggupkan pengikut-pengikutnya untuk menghadapi bahaya dan menanggung penderitaan, tidak cemas menahan dingin, kelaparan, kerja keras dan kemiskinan, untuk meninggikan panji-panji kebenaran di atas para-para, di penjara bawah tanah dan di atas tiang pembakaran. Untuk melawan kekuatan ini, Yesuitisme mengilhami pengikut-pengikutnya dengan fanatisisme yang menyanggupkan mereka untuk menahan bahaya-bahaya dan menentang kuasa kebenaran dengan segala senjata penipuan. Tidak ada kejahatan yang terlalu besar untuk mereka lakukan, tidak ada penipuan yang terlalu keji merendahkan martabat untuk dilaksanakan, dan tidak ada penyamaran yang terlalu sukar untuk dikerjakan. Berjanji untuk terus menerus miskin dan hina, tujuan pelajaran mereka adalah mengumpulkan harta dan kuasa, dan bertekad untuk menggulingkan Protestantisme, dan mendirikan kembali supremasi kepausan.
Bilamana mereka tampil sebagai anggota ordonya, mereka memakai pakaian jubah kesalehan; mengunjungi penjara-penjara dan rumah-rumah sakit, melayani orang-orang sakit dan orang-orang miskin, mengaku sudah meninggalkan keduniawian, dan membawa nama Yesus yang kudus pergi melakukan kebajikan. Akan tetapi di balik penampilan luar yang tidak bercela ini sering tersembunyi maksud-maksud yang paling jahat dan paling mematikan. Adalah prinsip dasar dari ordo ini bahwa tujuan menghalalkan segala cara. Dengan kode atau prinsip ini, berdusta, mencuri, bersumpah palsu, dan membunuh, bukan saja bisa diampuni, tetapi patut dihargai, bilamana dilaksanakan demi kepentingan gereja. Dengan berbagai penyamaran mereka berhasil menduduki jabatan-jabatan pemerintahan negara, menjadi penasihat raja-raja dan membentuk kebijakan-kebijakan negara. Mereka menjadi hamba untuk memata-matai tuan mereka. Mereka mendirikan perguruan-perguruan tinggi untuk para bangsawan, dan sekolah-sekolah bagi rakyat jelata. Dan anak-anak orangtua pengikut Protestan diharuskan untuk mengikuti upacara-upacara kepausan. Semua kemegahan penampilan luar dan seragam perbaktian Romawi dilakukan untuk membingungkan pikiran dan untuk mempesona dan memikat imaginasi. Dengan demikian kebenaran yang diperjuangkan oleh orangtua dengan susah payah telah dikhianati oleh anak-anak mereka. Dalam wktu yang singkat kaum Yesuit telah menyebar ke seluruh Eropa, dan kemana saja mereka pergi maka kebangkitan kembali kepausan terjadi di tempat itu.
Untuk memberikan wewenang yang lebih besar kepada mereka, maka paus mengeluarkan satu perintah resmi untuk membentuk kembali lembaga Pemeriksaan (Inquisition) (Lihat Lampiran). Walaupun kebencian merajalela dimana-mana mengenai lembaga Pemeriksaan ini, bahkan di negeri-negeri Katolik sendiri, pemeriksaan kembali dibentuk oleh penguasa-penguasa kepausan, dan kekejaman-kekejaman yang sangat mengerikan dilakukan di terang hari, di ulangi kembali dilakukan di penjara-penjara bawah tanah yang dirahasiakan. Di beberapa negera, beribu-ribu bunga bangsa yang paling murni dan paling agung, yang paling intelek dan berpendidikan tinggi, pendeta-pendeta yang saleh dan berdedikasi, warga yang rajin dan patriotik, sarjana-sarjana yang brilian, seniman-seniman berbakat, pekerja-pekerja yang mahir, telah dibunuh atau terpaksa melarikan diri ke negeri lain.
Beginilah cara-cara yang dilakukan oleh Roma untuk memadamkan terang Pembaharuan itu, menarik Alkitab dari tangan orang-orang, mengembalikan kebodohan dan ketakhyulan Zaman Kegelapan. Tetapi dengan berkat-berkat Allah dan dengan kerja keras orang-orang yang mulia, yang telah dibangkitkan oleh Allah untuk menggantikan Luther, Protestantisme tidak bisa digulingkan. Bukan kepada persenjataan para pangeran ia berhutang budi untuk kekuatannya. Negeri yang paling kecil, bangsa yang paling sederhana dan paling lemah kekuatannya, menjadi benteng Pembaharuan. Kota Geneva yang kecil itulah, di tengah-tengah musuh-musuhnya yang perkasa, yang merencanakan kehancurannya; Negeri Belanda sendiri, yang berpantai pasir di laut sebelah Utara, yang berjuang melawan tirani Spanyol, kemudian paling besar dan makmur dari antara kerajaan-kerajaan; Swedia yang suram dan tandus itulah yang memperoleh kemenangan Pembaharuan.
Hampir selama tiga puluh tahun, Calvin bekerja di Geneva. Mula-mula mendirikan gereja yang mengikuti moralitas Alkitab, kemudian untuk memajukan Pembaharuan di seluruh Eropa. Tugasnya sebagai pemimpin masyarakat bukan tanpa kesalahan, bahkan doktrin-dotrinnya bukan tanpa kesalahan. Tetapi ia adalah suatu alat yang sangat penting untuk menyebarluaskan kebenaran pada zamannya, untuk mempertahankan prinsip-prinsip Protestantisme melawan gelombang balik kepausan yang cepat datangnya, dan untuk memajukan kesederhanaan dan kemurnian hidup di dalam gereja-gereja yang telah dibaharui, sebagai gantinya kesombongan dan kebejatan yang berkembang di bawah ajaran-ajaran Roma.
Dari Geneva, bahan-bahan cetakan keluar menyebarkan ajaran-ajaran yang telah dibaharui. Sampai sejauh ini, negeri-negeri yang telah mengalami penganiayaan terus mencari petunjuk, nasihat dan dorongan. Kotanya Calvin menjadi tempat perlindungan bagi para Pembaharu yang terus diburu diseluruh Eropa bagian Barat. Para buronan yang melarikan diri dari badai yang mengerikan, yang berlanjut selama berabad-abad, datang ke Geneva. Dalam keadaan lapar, luka-luka, kehilangan rumah dan keluarga, mereka disambut dan dipelihara dengan baik penuh kelemah-lembutan. Mereka mendapat rumah di sini. Mereka memberkati kota yang telah menerima mereka, dengan kecakapan, ilmu dan kesalehan mereka. Banyak dari mereka yang telah berlindung di sini kembali ke negeri mereka untuk melawan kelaliman Roma. John Knox, Pembaharu Skotlandia yang berani, banyak dari orang-orang Puritan Inggeris, Protestan Negeri Belanda dan Spanyol serta orang-orang Huguenots Perancis, membawa obor kebenaran dari Geneva untuk menerangi kegelapan di negeri mereka masing-masing.