Langit sore itu tampak seperti kanvas raksasa yang dilukis Tuhan sendiri. Awan-awan lembut mengapung di atas hamparan jingga keemasan, dan di balik jendela rumah kecil di pinggir desa, seorang wanita duduk diam, menatap senja dengan mata yang sembab.
Namanya Liora.
Dulu, ia dikenal sebagai gadis ceria dengan tawa yang bisa membuat siapa pun merasa damai. Tapi sejak Ezra pergi, tawa itu perlahan memudar, seperti warna langit yang meredup di ujung hari.
Setiap sore, Liora duduk di kursi kayu tua di dekat jendela itu. Di depannya ada tumpukan surat—semua ditulis dengan tulisan tangan yang rapi, semua ditujukan pada satu orang yang sama: Ezra.
Namun tidak satu pun pernah terkirim.
Ia membuka salah satunya, lalu membaca pelan, seolah suara Ezra bisa mendengarnya.
“Ezra, hari ini hujan turun. Aku masih menaruh gelas kosong di jendela seperti dulu, berharap bisa menangkap sisa-sisa hujan yang pernah kamu bilang terasa seperti doa dari langit. Kadang aku ingin menulis surat ini dengan tinta air mata saja, karena sepertinya hanya itu yang tersisa dariku.”
Liora menutup surat itu perlahan. Matanya menerawang jauh.
Sudah dua tahun berlalu sejak hari ketika Ezra berangkat sebagai sukarelawan medis ke wilayah bencana di pesisir timur. Ia pergi dengan senyum yang sama seperti hari pertama mereka bertemu.
“Aku akan kembali sebelum bunga kamboja di halamanmu gugur, Liora,” katanya dulu sambil menggenggam tangannya.
“Dan kalau badai datang?” tanya Liora.
“Maka aku akan berlindung di doa-doamu,” jawab Ezra dengan lembut.
Tapi badai itu datang lebih besar dari yang dibayangkan siapa pun. Dan sejak saat itu, tak ada lagi kabar dari Ezra.
Surat terakhir darinya datang dalam amplop lusuh bertanggal tiga hari sebelum badai itu menghantam.
“Doakan aku, Li. Banyak orang di sini yang sakit dan takut. Aku tidak bisa meninggalkan mereka. Aku percaya Tuhan akan menjaga kita masing-masing, di mana pun kita berada.”
Setelah itu, sunyi.
Surat-surat yang menyusul tak pernah sampai.
Namun Liora tetap menulis setiap hari. Kadang ia menulis hanya satu baris doa, kadang dua halaman penuh rindu. Ia menulis bukan karena yakin surat itu akan sampai, tapi karena ia takut melupakan suaranya sendiri ketika menyebut nama Ezra dalam doa.
Suatu sore, saat sinar matahari merambat lembut ke dalam rumah, seseorang mengetuk pintu.
Seorang pria tua berdiri di sana, membawa tas pos besar di pundaknya.
“Permisi, Nona Liora?” suaranya serak tapi hangat. “Saya petugas dari kantor pos distrik lama. Kami menemukan tumpukan surat yang sempat tersapu banjir tahun lalu. Sebagian bisa diselamatkan. Dan ini… tampaknya milik Anda.”
Ia menyerahkan sebuah amplop tebal berwarna kecokelatan, sudah agak kusam, dengan tulisan tangan yang Liora kenal bahkan dalam mimpi.
Untuk Liora, dari Ezra.
Tangannya bergetar saat menerimanya. “Dari… Ezra?”
Petugas itu mengangguk pelan. “Ya, Nona. Surat ini terlambat tiba. Sangat terlambat.”
Begitu pria itu pergi, Liora duduk kembali di kursinya. Ia menatap amplop itu lama, takut membukanya.
Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya merobek segelnya dengan lembut.
Di dalamnya hanya ada selembar kertas yang agak kusam dan harum samar minyak kayu putih—aroma yang dulu selalu dipakai Ezra di rumah sakit.
Tulisan di dalamnya bergoyang sedikit, seolah ditulis dengan tangan lelah.
“Liora,
Jika surat ini sampai kepadamu, mungkin aku sudah tidak ada di dunia ini. Tapi jangan menangis. Aku tidak menyesal. Di tengah reruntuhan dan jerit tangis, aku melihat sesuatu yang membuatku yakin Tuhan masih dekat—kasih yang hidup di antara manusia yang saling menolong.
Kamu pernah bilang, cinta sejati tidak mengenal jarak atau waktu. Sekarang aku percaya. Karena bahkan di antara debu dan badai, aku bisa merasakan cintamu menyentuhku lewat doa.
Jika suatu hari kamu melihat matahari terbenam dan langit berwarna jingga keemasan, ingatlah—itu aku sedang pulang, dengan cara yang hanya surga tahu.
Sampai hari itu tiba ketika Kristus membangunkan kita kembali, aku akan menunggu dalam damai.”
Tinta di bagian terakhir tampak pudar, seperti dilap air hujan.
Liora menutup surat itu, menatap langit sore yang kini berubah keemasan.
Air matanya mengalir tanpa suara. Tapi di sela-sela kesedihan itu, ada sesuatu yang aneh—rasa damai yang lembut, seperti pelukan hangat dari jauh.
“Kamu tidak pernah pergi, ya, Ezra?” bisiknya. “Kamu cuma pulang lebih dulu.”
Malam itu, Liora duduk di mejanya lagi. Kali ini, ia menulis surat terakhirnya.
Tangannya bergetar, tapi hatinya tenang.
“Ezra,
Aku sudah tidak takut lagi.
Suratmu datang seperti angin dari surga, membawa kembali harapan yang sempat hilang. Aku tahu, kamu sedang menunggu hari di mana Yesus akan datang dengan awan putih dan terompet yang membangunkan semua yang tertidur dalam kasih-Nya.Hari itu, kita akan bertemu lagi. Tanpa air mata, tanpa perpisahan.
Jadi, aku akan menunggu juga, di sisi matahari terbenam yang sama.
Sampai Tuhan memanggil kita pulang bersama.”
Ia melipat surat itu, menaruhnya di atas surat Ezra, lalu menatap keluar jendela.
Angin bertiup lembut malam itu, membawa aroma bunga kamboja dari halaman. Liora tersenyum.
“Bunganya belum gugur,” gumamnya pelan.
Ia menatap langit yang berkelip.
“Terima kasih, Tuhan… sudah membiarkan aku mencintai seseorang seperti dia.”
Kemudian ia bersandar di kursinya, matanya terpejam perlahan, wajahnya tenang.
Keesokan paginya, tetangga Liora, seorang nenek tua bernama Marta, datang membawakan roti hangat.
“Liora?” panggilnya dari luar.
Tak ada jawaban.
Ia membuka pintu dan melihat Liora tertidur di kursi kayu itu, masih dengan senyum lembut di wajahnya. Di dadanya terletak dua surat yang saling menindih, seolah keduanya akhirnya bertemu setelah sekian lama.
Marta menutup mulutnya dengan tangan, menahan air mata. Ia tahu, Liora telah beristirahat. Bukan dengan sedih, tapi dengan damai yang indah.
Beberapa minggu kemudian, gereja kecil di desa itu penuh bunga kamboja putih. Orang-orang datang membawa kenangan tentang Liora—tentang gadis lembut yang tak pernah berhenti berdoa, bahkan di tengah kehilangan.
Pendeta berdiri di mimbar, suaranya berat tapi lembut.
“Kasih yang sejati,” katanya, “tidak berakhir di liang kubur. Kasih sejati adalah pantulan dari kasih Kristus—kasih yang menanti kebangkitan, bukan mengikat roh di dunia. Liora telah beristirahat, menunggu fajar kebangkitan itu. Sama seperti Ezra, yang telah tertidur lebih dulu.”
Suara pendeta itu bergema lembut di dalam gereja, di antara sinar matahari yang menembus jendela kaca berwarna.
Dan sore itu, saat upacara selesai, langit tiba-tiba berubah menjadi keemasan yang sangat indah.
Awan membentuk garis cahaya di cakrawala, seolah ada tangan tak terlihat yang melukis kembali kenangan mereka.
Marta berdiri di halaman gereja, memandang langit itu sambil berbisik pelan,
“Lihatlah, Li… Ezra menepati janjinya. Ia pulang lewat senja.”
Bertahun-tahun kemudian, rumah kecil Liora masih berdiri di tepi desa.
Tak ada lagi sosok yang duduk di kursi jendela itu, tapi di atas meja, dua surat tetap terjaga dalam bingkai kaca.
Anak-anak desa sering datang ke sana dan bertanya,
“Nenek, kenapa dua surat itu tidak dikirimkan?”
Dan sang penjaga rumah akan tersenyum sambil berkata,
“Karena kadang, surat cinta tidak ditujukan untuk bumi. Ada surat yang hanya bisa dibaca di surga.”
Matahari tenggelam perlahan di balik bukit. Warna langit kembali berubah jingga, seperti dulu.
Di kejauhan, angin berbisik pelan di antara pohon-pohon kamboja yang mekar, seolah membisikkan nama yang masih hidup di udara:
Ezra dan Liora.
Dua nama yang tertulis bukan di batu nisan, tapi di hati Tuhan sendiri—menunggu hari ketika sang Pencipta memanggil mereka bangun dari tidur, dan cinta yang mereka tanamkan di bumi akhirnya mekar abadi di surga yang dijanjikan.
🌤️ Akhir 🌤️
No comments:
Post a Comment