Translate

20 Aug 2025

Untuk Sahabatku

Hai Sahabat, apa kabar-Mu?

Di atas sana, masihkah

Kau menghakimi dunia ini?

Masih banyak kah dosa?


Aku rindu ingin melihat-Mu

Selama ini aku menunggu-Mu 

Berapa lama lagi  Sahabatku 

Berapa lama kami menunggu?


Bukankah Engkau telah berjanji,

Engkau akan datang segera?

Bukankan Engkau selalu menepati 

Janji yang Engkau ucapkan?


Telah ku lihat tanda-tanda 

Yang Engkau katan dalam kitab suci.

Semuanya telah terjadi Sahabatku.

Dunia semakin hancur Sahabatku! 


Dan akan semakin hancur 

Seiring berjalannya waktu maka 

Tidak akan ada tempat 

Yang aman bagi kami 


Bahkan negara kami yang 

Katanya telah merdeka selama 

80 tahun lamanya ini 

Perlahan-lahan mulai hancur Sahabatku!


Semakin lama akan semakin 

Besar kehancurannya, sekalipun banyak 

Yang berdoa pada-Mu untuk 

Perdamaiannya, namun takkan pernah terjadi.


Karena kami yang percaya 

Bahwa waktu yang Engkau

Tetapkan sudah sangat dekat. 

Datanglah Tuhanku, Sahabatku, Juruselamatku



Margie Amelia 

 18 Agustus 2025

Airmadidi, Minut, Sulawesi Utara




 Untuk Sahabatku Revisi Chatgpt


Hai Sahabat, apa kabar-Mu?

Di atas sana, masihkah

Engkau melihat dunia

Yang terus bergelimang dosa?

 

Aku rindu memandang wajah-Mu.

Selama ini ku menunggu,

Berapa lama lagi, Sahabatku,

Berapa lama kami menanti?

 

Bukankah Engkau berjanji:

“Aku datang segera”?

Janji-Mu tak pernah gagal,

Tak pernah Engkau ingkari.

 

Telah kulihat tanda-tanda

Yang tertulis dalam Kitab Suci—

Semuanya telah terjadi, Sahabatku,

Dunia ini kian hancur…

 

Semakin lama, semakin runtuh.

Tiada tempat aman tersisa,

Sekalipun banyak yang berdoa

Memohon damai di bumi fana.

 

Negeri kami yang katanya merdeka

Delapan puluh tahun lamanya,

Pun perlahan-lahan binasa

Dalam arus kehancuran dunia.

 

Namun kami percaya,

Waktu yang Kau tetapkan

Sudah sangat dekat…

Datanglah segera,

Tuhanku, Sahabatku, Juruselamatku.

 

Margie Amelia

18 Agustus 2025

Airmadidi – Minut, Sulawesi Utara 

 


15 Aug 2025

Ini Keren Banget


Hi, all readers!
Apa kabar kalian semua? 😊

Aku lagi nunggu buka Sabat nih. Sambil nunggu, aku kepikiran untuk menulis. Hehehe 😁 Udah lama banget ya nggak nulis? Jadi aku mau coba isi beberapa waktu ke depan dengan menulis lagi, meskipun cuma cerita pendek. Yang penting, aku bisa berbagi apa yang aku rasakan saat ini.

Oh ya, kemarin aku ulang tahun yang ke-42. "Tua juga ya aku, guys." 😅 Akhir-akhir ini aku lagi ikut Bible Study bareng Jesus for Indonesia Ministry. Tadi, topiknya adalah “Adakah Konsep Trinitas dalam Perjanjian Lama?” Oleh Bpk. RONALD D. PALANDIE. Walaupun sebelumnya aku sudah sering belajar tentang hal ini, rasanya tetap menyenangkan untuk terus diingatkan lagi.

Aku percaya bahwa Trinitas sudah ada bahkan sebelum dunia ini diciptakan. Sebelum seluruh alam semesta ada, mereka sudah bersama. Dan aku sungguh yakin akan hal itu.

Di akhir-akhir pelajaran tadi, aku merasa ada sesuatu yang ingin aku ungkapkan, meski hanya dalam hati. Hehehe 😁 Aku memang selalu terkagum-kagum pada Pribadi yang satu ini. Kalau sudah membicarakan tentang-Nya, rasanya hatiku bergetar dengan cara yang sulit dijelaskan.

Aku sering bilang dalam hatiku, “Dia keren banget.” Dan tadi aku mengulanginya lagi.
Tuhan Yesus, Engkau keren banget. Mukjizat yang Engkau lakukan di dunia ini keren banget. Bumi ini tercipta karena Engkau, itu keren banget. Dan aku ada sampai saat ini, itu pun keren banget.

Itulah ungkapan sederhana yang aku sampaikan dalam hatiku saat itu.

Oh iya, aku juga sempat menuliskan sebuah puisi yang bisa kalian baca di sini: Melihat Ke Langit (atau bisa juga langsung scroll ke bawah).

Terima kasih 


Renungan Buka Sabat - SABAT KETIGA PULUH TIGA - METERAI ALLAH DAN TANDA BINATANG

 


Apabila kamu sungguh sungguh mendengarkan Aku, demikianlah firman TUHAN, dan tidak membawa masuk barang-barang melalui pintu-pintu gerbang kota ini pada hari Sabat, tetapi menguduskan hari Sabat dan tidak melakukan sesuatu pekerjaan pada hari itu, maka melalui pintu-pintu gerbang kota ini akan berarak masuk raja-raja dan pemuka pemuka, yang akan duduk di atas takhta Daud, dengan mengendarai kereta dan kuda: mereka dan pemuka-pemuka mereka, orang-orang Yehuda dan penduduk Yerusalem. Dan kota ini akan didiami orang untuk selama-lamanya. Yeremia 17:24, 25


Orang-orang benar yang hidup akan menerima meterai Allah menjelang penutupan masa pencobaan.—Selected Messages, buku 1, hl. 66.


Tanda, atau meterai Allah dinyatakan dalam penyucian hari ketujuh, Sabat, hari peringatan penciptaan Tuhan. . . . Tanda binatang itu adalah lawan dari meterai Allah ini, yakni memelihara hari yang pertama dalam minggu.—Testimonies for the Church, jilid 8, hl. 117.


Pemeliharaan hari Minggu belum lagi merupakan tanda binatang itu, dan tidak akan menjadi tanda binatang sebelum keluar perintah mendesak manusia menyembah sabat yang palsu. Waktunya akan datang bilamana hari ini akan menjadi ujian, tetapi waktunya belum tiba.—SDA Bible Commentary, jilid 7, hl. 977.


Belum ada seorangpun yang telah menerima tanda binatang itu. Waktu ujian itu belum tiba. Ada orang-orang Kristen sejati dalam setiap gereja, tidak terkecuali di kalangan anggota gereja Roma Katolik. Belum ada seorangpun yang sudah dihukum sebelum mendapat terang, dan melihat kewajiban terhadap hukum yang keempat. Tetapi bilamana perintah sudah keluar untuk memaksakan hari Sabat palsu, dan suara nyaring malaikat ketiga berkumandang mengamarkan manusia supaya menyembah binatang dan patungnya, maka garispun ditariklah di antara yang palsu dan yang benar. Kemudian mereka yang terus-menerus melanggar akan menerima tanda binatang itu.—Evangelism, hl. 234, 235.


Jika terang kebenaran itu telah disampaikan kepadamu, menyatakan hari Sabat, hukum keempat, dan menunjukkan bahwa tidak ada dasar dari Firman Allah mengenai penyucian hari Minggu, lalu engkau masih tetap berpaut pada hari sabat palsu, dan tidak mau menyucikan hari Sabat yang Allah katakan "hari kudusKu," maka engkau menerima tanda binatang itu. Kapankah hal ini terjadi? Bilamana engkau menurut perintah berhenti hari Minggu dan mulai menyembah Allah hari itu, sementara engkau tahu bahwa tidak terdapat sepatah katapun dalam Alkitab yang menunjukkan hari Minggu menjadi lain dari pada hari kerja biasa, engkau setuju menerima tanda binatang itu, dan menolak meterai Allah.—Evangelism, hl. 235.


Tidak lama lagi, setiap anak Allah akan mendapatkan meteraiNya. Mungkin meterai itu akan diletakkan di atas dahi mereka! Siapakah yang tahu sudah lewat waktunya bilamana malaikat itu keluar memeterai hamba-hamba Allah di dahi mereka?—Review and Herald, 28 Mei 1889.


Baik Allah maupun Setan, kedua-duanya memiliki tanda, benarnya cuma Allah yang memiliki tanda, sebagai bendera yang mengingatkan bahwa Ia adalah khalik semesta alam. Tetapi Setan meniru cara Allah bekerja lalu membuat tanda sendiri, membuat bendera sendiri. Jika tanda atau bendera Allah adalah hari Sabat, maka tanda atau bendera Setan adalah hari Minggu. Hari Sabat adalah bendera asli, sedangkan hari Minggu adalah bendera Palsu. Supaya kita dapat masuk ke dalam kerajaan Allah, maka kita harus memegang bendera atau panji Allah yang benar, yaitu hari Sabat.


Kiranya Tuhan Selalu Memberkati Kita!

Melihat Ke Langit

 

Melihat ke langit, aku tersenyum.

Langit biru membentang,

membisikkan syukur di hatiku
atas segala kebaikan-Mu padaku.

Menatap cakrawala,
aku berbicara dari hati,
membayangkan senyum-Mu
yang hangat menyapa jiwaku.

Setiap pandanganku ke atas
menghapus gundah gulana,
menggantinya dengan damai
karena aku tahu Engkau ada di sana.

Engkau, Penciptaku,
yang melihatku dan memeliharaku.
Hidupku—mukjizat dari tangan-Mu,
anugerah kasih-Mu yang tak berkesudahan.

Langit biru menjadi tempatku bercerita,
kepada Tuhan yang kasih-Nya tak terbatas.
Waktu telah membuktikan
mukjizat-Mu nyata sejak kelahiranku.

Ketika menatap langit,
hangat mengalir di hatiku.
Aku berbicara dengan-Mu
dari hati ke hati.

Hanya Engkau yang menenangkan jiwaku,
yang membuat segalanya indah.
Tanpa-Mu, batinku kacau.

Maka aku memandang ke langit
dan berkata:
“Jangan biarkan aku menjauh,
ya Tuhanku.”

8 Aug 2025

Kasih yang Tak Pernah Pergi

 Hi, all readers!


How are you all doing? Hopefully, you all are good, healthy, and safe.


Kali ini aku dibantu oleh Chatgpt menulis sebuah kisah yang aku suka banget. Karena ini adalah cerita tentang seorang penulis himne yang aku suka banget. Mau bahasa Inggris atau Indonesia yang ada di buku lagu gereja, sama-sama aku suka. Apa lagi yang ada di buku lagu gereja Advent, aku suka banget kata-katanya. Aku akan taruh di sini lirik lagu dari Lagu Sion dan buat yang Advent silahkan lihat nadanya di Lagu Sion ya. Selamat membaca! 🙏😇


Lagu Sion Edisi Lengkap No. 72  


BESAR KASIH-MU YA ALLAH

1
Besar kasih-Mu, ya Allah
Sandaran penat jiwaku
Ku b’ri hidupku pada-Mu
Agar mengalir kasih-Mu
Penuhi hatiku

2
Engkau Allah t’rang hidupku
Kus’rahkan suluh jiwaku
Yang hampir padam dan kelam
Agar sinarku benderang
Di tengah g’lap malam

3
Engkaulah sukacitaku
Di tengah kepedihanku
Bila kulihat pelangi
Tuhan, kuingat janji-Mu
Yang hiburkan hati

4
Kar’na salib-Mu, ya Allah
Ku takkan meninggalkan-Mu
Sampai maut menjemputku
Ku ‘kan t’rima hidup kekal
Di dunia yang baru



O Love That Will Not Let Me Go


1. O Love that will not let me go,
I rest my weary soul in thee;
I give thee back the life I owe,
That in thine ocean depths its flow
May richer, fuller be.

2. O light that followest all my way,
I yield my flickering torch to thee;
My heart restores its borrowed ray,
That in thy sunshine’s blaze its day
May brighter, fairer be.

3. O Joy that seekest me through pain,
I cannot close my heart to thee;
I trace the rainbow through the rain,
And feel the promise is not vain,
That morn shall tearless be.

4. O Cross that liftest up my head,
I dare not ask to fly from thee;
I lay in dust life’s glory dead,
And from the ground there blossoms red
Life that shall endless be.



Cerpen berdasarkan kisah nyata George Matheson, dengan selingan lirik

“O Love that will not let me go.”
Kasih yang tak akan pernah melepaskanku.

Langit Glasgow sore itu bagai kain beludru tembaga. George Matheson duduk di kursi kayu dekat jendela yang dibuka sedikit; angin dingin merayapi tepi kelopak matanya yang lelah. Ia tidak melihat senja—sudah lama tidak. Tapi ia “melihat” kenangan: aroma buku di perpustakaan ayahnya, bunyi pintu depan, langkah-langkah riuh saudari-saudarinya, dan doa ibu yang berbisik di balik pintu kamar.

Cahaya Kecil di Rumah Besar

“O Light that follow’st all my way.”
Wahai Terang, yang mengiringi seluruh jalanku.

“George, cepat, sekolah!” seru Mary, kakak perempuannya, dulu sekali.

Anak lelaki berkacamata bundar itu tergagap, memeluk buku setinggi dagu. Di ruang makan, ayah menyelipkan dua koin ke sakunya. “Beli pensil,” katanya singkat, tapi matanya bangga. Ibunya menepuk bahunya, menambahkan: “Dan bawa pulang cerita.”

Cerita—itulah yang menghidupi George. Ia membaca Plato dan Milton, menggigil kagum di lorong-lorong pemikiran. Namun pada usia lima belas, huruf-huruf menari menjauh. Cahaya memudar, garis-garis membocor jadi kabut. Dokter menghela napas panjang: tak ada obat; kebutaan akan datang.

Di rumah, ibunya memegang tangan putranya. “Kau masih bisa belajar.”

“Apa gunanya jika aku tak bisa melihat?” tanya George, bibirnya retak oleh takut.

“Belajar mendengar. Belajar mengingat. Belajar percaya.” Suara ibunya seperti selimut.

Sejak hari itu, saudari-saudarinya bergantian membacakan buku ke telinganya. George menutup mata—bukan karena menyerah, melainkan fokus—menghafal kalimat, menata logika dalam ruang yang tak bergambar. Ia membangun perpustakaan di dalam dirinya.

Cinta di Tepi Clyde

“I rest my weary soul in Thee.”
Jiwaku yang letih beristirahat pada-Mu.

Ia bertemu gadis itu di kampus: senyum sederhana, tawa yang menenangkan. Mereka berjalan sepanjang Sungai Clyde; air berkilau seperti kaca pecah di matahari. George menceritakan filsafat, gadis itu membalas dengan puisi—mereka menanam rencana masa depan di percakapan yang panjang.

Suatu sore, George menghentikan langkah. “Aku harus jujur,” katanya. “Mataku… sebentar lagi aku mungkin buta sepenuhnya.”

Gadis itu menggenggam jemarinya. Sunyi. Burung camar melewati kepala mereka, berteriak seperti garis di langit. Lalu, dengan suara yang patah, gadis itu berbisik: “Aku… aku tak sanggup hidup dengan suami yang buta.”

Kata-kata itu menggelinding dari bibirnya seperti batu. Mereka berpisah di tepi sungai. George berjalan pulang, menelusuri jalan tanpa melihat, tetapi mengerti: kehilangan bisa lebih gelap dari malam.

Di kamarnya, ia berlutut. “Tuhan,” katanya pelan, “jika semua cinta pergi, jangan Engkau.”

Panggilan di Innellan

“I give Thee back the life I owe.”
Kukembalikan hidup yang kumiliki pada-Mu.

Laut Clyde memantulkan langit abu-abu ketika George tiba di Innellan, desa kecil yang basah dan wangi garam. Gereja berdiri sederhana; bangku-bangkunya memeluk jejak doa bertahun-tahun. George ditahbiskan. Suaranya, yang selalu tenang, mengalun dari mimbar seperti musik kamar—tidak keras, tapi menyusup ke hati.

Ia belajar “melihat” lewat suara: dengung lilin, batuk tertahan seorang janda, dengusan anak kecil yang bosan. Setiap rumah yang ia kunjungi punya musik sendiri: panci mendidih, pintu engsel tua, doa yang malu-malu. Ia menghafal nama dengan menyentuh cerita.

Suatu hari, seorang perempuan dengan pelindung kepala hitam datang. “Suamiku hilang di laut.”

“Namanya?” tanya George.

“Angus.” Nama itu pecah di lidahnya, seperti ombak memecah ke batu.

George meraih tangannya. Kulitnya dingin. “Tuhan tidak menenggelamkan namanya,” katanya. “Ia mengingat setiap butir pasir.”

Perempuan itu terisak, kepalanya menunduk. Di ruang sempit itu, hadirat yang tak terlihat berdiri di antara mereka, memanaskan udara.

Membaca Tanpa Mata

“That in Thine ocean depths its flow…”
Agar di samudra-Mu alirnya…

George menulis khotbah-khotbah yang rapi, memintal teologi dengan pengalaman. Saudari-saudarinya menjadi mata dan tangannya: membacakan Kitab Suci, mencatatkan draf, memperbaiki ejaan. George mendikte pelan, kata demi kata, seolah menapak lantai yang bisa retak kapan saja. Ia belajar ‘mendengar’ ciri setiap kata—mana yang berat, mana yang lembut—dan menaruhnya tepat di tempat masing-masing.

Pada malam-malam sepi, ketika angin mengetuk genting, ia mengulang Mazmur dalam hati hingga tenang. Kegelapan tidak selalu musuh; kadang ia hanya selimut yang mengundang orang untuk tidur di pangkuan Allah.

Malam Sebelum Pernikahan

“May richer, fuller be.”
Semoga lebih kaya, lebih penuh.

6 Juni 1882. Rumah pastori seperti kapal—penuh orang, penuh suara, penuh gerak. Salah satu saudari George akan menikah esok hari. Gaun putih tergantung di pegangan lemari; wangi sabun mandi berterbangan di lorong. Tawa naik-turun seperti burung pipit.

George mundur ke kamar atas. Ia duduk. Tongkatnya bersandar di dinding, jam saku di atas meja berdetak halus. Kebahagiaan di bawah mengalir ke lantai ini, tapi sampai di hatinya, tiba-tiba mengendap pekat. Ingatan lama mengetuk: wajah yang dulu dicintainya, suara yang berkata tak sanggup. Ia memejamkan mata—kebiasaan yang tak lagi perlu, tapi menenangkan.

“Tuhan,” gumamnya, “Engkau tahu semua jalan yang tak mampu kutempuh.”

Suatu yang lembut—seperti cahaya yang tidak menyilaukan—menyentuh bagian terdalam dirinya. Kata-kata bangkit, bukan lewat mata, melainkan dari sumur yang lebih dalam dari air mata. Ia meraba pena, kertas, dan menulis. Tidak susah payah; tidak diseret—mengalir.

“O Love that will not let me go,”
Kasih yang tak akan melepaskanku,
“I rest my weary soul in Thee.”
Jiwaku yang letih beristirahat pada-Mu.

Empat bait, tak sampai lima menit. Setelah titik terakhir, George meletakkan pena. Di bawah, tawa masih berloncatan. Di dalam, badai berhenti. Ia mencondongkan tubuh ke sandaran kursi, mendengarkan detak jam. Rasanya seperti baru pulang ke rumah—bukan rumah kayu, melainkan rumah yang dibangun dari janji.

Ketika Jemaat Bernyanyi

“O Joy that seekest me through pain.”
Sukacita yang mencariku melalui duka.

Mula-mula, hanya jemaat Innellan yang menyanyi. Lalu lagu itu menyeberangi teluk, masuk ke gereja lain, ke kota lain, ke negeri lain. Orang-orang menyanyikannya di antara kursi duka dan bangku pengharapan. Kata-kata itu menemukan bibir mereka yang tak punya kalimat untuk patah hati sendiri.

Seorang pelaut pulang dan tak menemukan rumahnya—terbakar. Di kebaktian berikutnya, ia berdiri, suaranya pecah, tetapi ia menyanyi. Seorang ibu yang kehilangan bayi memeluk lengan kursi, mengangkat wajahnya yang bengkak, dan menyanyi. Bahkan seorang pemuda yang kecewa, yang hendak meninggalkan gereja, mendadak terdiam saat bait itu lewat di udara, seolah seseorang menyebut namanya.

Sesudah kebaktian, George duduk sendirian sejenak, mendengar gema itu turun naik di pilar kayu. Ia berbisik: “Bukan aku.” Lalu menambahkan, “Tetapi aku bersyukur dipakai.”

Edinburgh, Mimbar yang Lebih Tinggi

“O Cross that liftest up my head.”
Salib yang mengangkat kepalaku.

George dipanggil ke St. Bernard’s Church, Edinburgh. Bangunannya besar; mimbar lebih tinggi, jemaat lebih banyak. Tetapi cara ia menyentuh hati tak berubah: pelan, tenang, tepat. Ia menyusun kalimat seperti tukang kayu menyatukan papan—tanpa pamer, tapi kokoh.

Di ruang konseling, seorang pemuda menggebrak meja kecil. “Kenapa Tuhan membiarkan aku gagal?”

“Karena kegagalan pintu yang menutup?” tanya George.

“Ya.”

“Kadang pintu yang menutup menyelamatkan kita dari kamar yang salah.” George tersenyum samar. “Dan Tuhan menunggu di lorong.”

Pemuda itu tertawa getir, lalu diam. Di ujung percakapan, ia berkata, “Bagaimana Anda memimpin tanpa melihat?”

George menyentuh tongkatnya, sejenak. “Aku diajari menatap dengan cara lain.” Ia mengetuk dadanya pelan. “Ke sini.”

Menulis dengan Mulut, Membaca dengan Telinga

“I trace the rainbow through the rain.”
Kulacak pelangi di balik hujan.

Buku-buku teologi lahir dari mulut George, bukan dari tangannya. Ia mendikte pagi-pagi, jeda di siang, lanjut sore. Saudari-saudarinya menjadi pena yang setia, merawat tanda baca seperti merawat tanaman. Kadang ia meminta satu kalimat diulang berkali-kali—bukan karena ragu, melainkan karena ia mencari nada yang tepat.

Sore hari, ia berjalan pelan di halaman, meraba udara yang wangi tanah basah. Di dunia tanpa gambar, Tuhan mendidiknya membaca pola lain: timbre suara, berat napas, kecepatan langkah. Dari hal-hal itu, ia menebak apakah seseorang sedang patah, marah, atau hendak menangis. Dan ia menyiapkan kata yang sesuai.

Surat dari Jauh

“I dare not ask to fly from Thee.”
Tak berani kupinta terbang dari-Mu.

Surat-surat datang. Dari pulau kecil di Asia—seorang penginjil menulis bahwa lagunya menjadi pelita di rumah yang hanya punya satu lilin. Dari Amerika—seorang perempuan di bangku kayu Dakota menulis bahwa bait ketiga menyelamatkannya dari niat putus asa. Dari pelaut—dari janda—dari pendeta—dari pelajar.

George membaca lewat telinga—saudarinya mengucapkan setiap kata. Ia menyimpan beberapa, membalas beberapa. Yang tak ia balas, ia doakan. Doa-doa itu seperti kapal kertas kecil yang ia letakkan di sungai, percaya akan tiba entah ke pantai siapa.

Senja, Saat Jam Lebih Jelas

“From morn to night, Thy mercies keep.”
Dari pagi ke malam, rahmat-Mu memelihara.

Seiring tubuhnya melemah, ritme harinya mengerucut: doa—mendikte—menerima—mendoakan—istirahat. Ia menua seperti kota tua yang masih menyimpan aroma roti pagi. Kadang-kadang ia tertawa saat orang menyangka ia sendu. “Aku tak sedih,” katanya suatu kali, “aku hanya menghemat kata.”

Pada suatu sore yang panjang, ia duduk di kursi dekat jendela yang tak lagi ia lihat. Dari bawah, anak-anak berlari, menjerit kecil. Dari gereja, suara latihan paduan suara merayap ke dinding—bait lagunya, dinyanyikan oleh generasi yang tak pernah melihat wajahnya.

Ia menutup mata—kebiasaan lama—dan mengulang pelan: “Kasih yang tak pernah melepaskanku…” Bibirnya membentuk senyum yang hampir tak terlihat.

Keheningan yang Tidak Kosong

“Life shall endless be.”
Hidup akan tak berkesudahan.

28 Agustus 1906. Pagi melayat hingga sore. George berbaring tenang; di lehernya, nadi seolah sudah menulis kalimat terakhir. Kabar berpindah dari mulut ke mulut, lalu ke koran, lalu ke negeri-negeri lain. Jemaat berkumpul, bukan untuk meratap yang bising, tetapi untuk berterima kasih: atas suara seorang gembala yang membuat mereka tahan berdiri di badai.

Di udara, lagunya tinggal sebagai jejak—mirip aroma yang tersisa setelah seseorang lewat: tidak terlihat, tapi terbukti. Dan orang-orang yang pernah menyanyi kini menyadari, selama ini mereka tidak sekadar menyanyi bait milik seorang penulis; mereka sedang menyanyikan doa yang, entah bagaimana, juga milik mereka sendiri.

Warisan yang Mengalir

“O Love that will not let me go.”
Kasih yang tak akan melepaskanku.

Bertahun-tahun setelahnya, di gereja yang jauh, seorang anak—yang tidak tahu siapa George Matheson—mendengar ibunya menyanyikan bait pertama di dapur. Anak itu bertanya, “Itu lagu siapa?”

Ibunya mengangkat bahu. “Seorang yang mengerti bahwa Tuhan tidak pergi.” Lalu melanjutkan pekerjaan: mengaduk sup, mengetuk sendok, menutup panci. Uap naik; lagu tinggal melayang di langit-langit.

Di penjuru lain, seorang pendeta yang letih berdiri di mimbar kosong. Ia tak punya kata. Lalu, seperti tangan yang ringan, bait itu menyentuh bibirnya; ia mengucapkannya pelan, dan kata-kata lain menyusul. Jemaat pulang membawa sesuatu yang tidak mereka sadari: keberanian kecil untuk besok.

Dan di suatu sore yang lain lagi, seorang penulis muda—yang belum pernah melihat pegunungan tanpa kabut—membaca kisah pria buta yang menulis doa tercepat sepanjang hidupnya. Ia menutup buku, menatap jendela, dan entah mengapa yakin: bila cahaya memudar, bukan berarti halaman cerita selesai. Terkadang, persis saat itu—di tepi kegelapan—pena menemukan kalimat terbaiknya.

Renungan Buka Sabat - SABAT KETIGA PULUH DUA - UJIAN BAGI UMAT ALLAH

 


Maka marahlah naga itu kepada perempuan itu, lalu pergi memerangi keturunannya yang lain, yang menuruti hukum-hukum Allah dan memiliki kesaksian Yesus. Wahyu 12:17


"Kita tidak perlu tertipu. Pemandangan-pemandangan ajaib, yang erat hubungannya dengan Setan, akan segera terjadi. Firman Allah menyatakan bahwa Setan akan mengadakan mujizat. Ia akan menjadikan manusia sakit lalu kemudian dengan tiba-tiba mencabut kuasa Setannya dari mereka. Maka mereka akan dianggap sudah sembuh. Pekerjaan yang tampaknya menyembuhkan ini akan menyebabkan orang-orang Masehi Advent Hari Ketujuh menghadapi ujian. Banyak yang memiliki terang besar akan gagal berjalan di dalam terang itu, oleh sebab mereka tidak bersatu dengan Kristus.” Selected Messages, Buku 1, hl. 53.


"Saya melihat umat kita berada dalam kesusahan besar, menangis dan berdoa, sambil memohon kepastian janji Allah, sedangkan orang jahat berada di sekeliling kita, mengolok-olok kita dan mengancam untuk membinasakan kita. Mereka mengejek kelemahan kita, mereka mengolok-olok kecilnya jumlah anggota kita, dan menggoda kita dengan kata-kata yang terasa sangat menyakitkan. Mereka menuduh kita dengan pendirian bebas yang berpisah dari seluruh dunia. Mereka menghalangi sumber kehidupan kita sehingga kita tidak boleh membeli atau menjual, dan menuduh kita sebagai penyebab kemiskinan dan kekacauan. Mereka tidak dapat melihat bagaimana kita hidup tanpa dunia; tadinya kita bergantung atas dunia, dan kita harus menyerah kepada adat istiadat, praktek-praktek dan undang-undang dunia, atau kita harus keluar dari sana.


Jikalau hanya kita saja orang-orang di dunia yang dikasihi Tuhan maka gelagatnya mengerikan terhadap kita. Mereka menyatakan bahwa mereka memiliki kebenaran, bahwa mujizat ada di antara mereka, bahwa malaikat dari Sorga berbicara dengan mereka, dan berjalan dengan mereka, bahwa kuasa besar, tanda-tanda dan mujizat dilakukan di antara mereka, dan inilah Millenium Duniawi, yang telah lama mereka tunggu-tunggu. Seluruh dunia telah ditobatkan sesuai dengan hukum hari Minggu (bukan lagi hari sabat), dan kelompok kecil orang-orang yang lemah ini berdiri di luar perlindungan hukum negeri, dan hukum Allah, dan mengaku hanya merekalah orang-orang yang benar di bumi." Letter 6,1844.


"Umat Allah tidak akan mendapat keamanan dengan mengadakan mujizat, sebab Setan akan meniru setiap mujizat yang mungkin dilakukan. Mereka harus berdiri di atas Firman yang hidup, “Adalah tersurat." Selected Messages, Buku 2, hl. 55.


Orang banyak di dunia akan memilih hari sabat palsu (hari minggu), gantinya hari Sabat yang benar (hari Sabtu), oleh sebab mereka lebih menyukai kesenangan dunia, dari pada menderita sementara berada di dunia, yang ketika Yesus datang kedua kali; mereka yang menderita akan menerima hidup kekal, sedang mereka yang menyenangi dunia akan menerima hukuman yakni kematian kekal.


Tidak banyak orang yang mengerti bahwa tidaklah cukup bagi kita untuk hanya menjadi Umat Allah dan kemudian selamat. Sebagai umat Allah di bumi yang berdosa, banyak orang yang mengaku bahwa mereka adalah umat Allah, dengan demikian berharap akan beroleh hidup yang kekal itu: Namun, tidak semua umat Allah akan diselamatkan. Hanyalah mereka yang dipilih, dari antara umat Allah, yakni yang disebut umat pilihan yang akan diselamatkan. Kita harus menjadi umat pilihan; dan sebagai umat Allah, untuk menjadi umat pilihan, kita harus melalui ujian, dan salah satu penguji kita adalah menguduskan hari Sabat.


Banyak orang Kristen sekarang mengaku bahwa mereka percaya pada Allah, namun apabila ditanya apakah Allah percaya pada mereka, maka mereka menjadi ragu-ragu, oleh sebab mereka belum menjadi umat pilihan. Dan, umat pilihan Allah adalah mereka yang memelihara hari Sabat.


Kiranya Tuhan Selalu Memberkati Kita!

2 Aug 2025

Roh Kudus

Tak terlihat tapi suara-Nya 
Dapat di dengar oleh 
Setiap hati manusia fana 
Kehadiran-Nya dalam hidup ini 

Allah Yang Maha Kuasa 
Roh Kudus yang lembut 
Selalu berbicara di hati
Yang bersalah dan berdosa

Memohon kepada Bapa 
Dalam Nama Anak-Nya pengampunan 
Bagi mereka yang tidak dapat 
Mengungkapkan dengan kata mereka 


Kadang kata tertahan dalam
Hati yang kecewa dan
Bersedih namun hanya bisa 
Terdiam kemudian datang tangisan 

Terlihat wanita atau pria 
Itu kuat tapi hati 
Siapakah yang dapat membaca?
Hanyalah Dia yang Kudus 

Dia yang dapat membaca 
Setiap hati manusia juga
Dapat memberikan bisikan untuk 
Jalan keluar setiap masalah 

Dengarkanlah Dia maka kau
Akan berbahagia karena Tuhan 
Jika kau mendengar suaraNya
Maka Tuhan masih di hatimu 


Featured post

Untuk Sahabatku