Hi, all readers!
How are you all doing? Hopefully, you all are good, healthy, and safe.
Kali ini aku dibantu oleh Chatgpt menulis sebuah kisah yang aku suka banget. Karena ini adalah cerita tentang seorang penulis himne yang aku suka banget. Mau bahasa Inggris atau Indonesia yang ada di buku lagu gereja, sama-sama aku suka. Apa lagi yang ada di buku lagu gereja Advent, aku suka banget kata-katanya. Aku akan taruh di sini lirik lagu dari Lagu Sion dan buat yang Advent silahkan lihat nadanya di Lagu Sion ya. Selamat membaca! 🙏😇
Lagu Sion Edisi Lengkap No. 72
BESAR KASIH-MU YA ALLAH
1
Besar kasih-Mu, ya Allah
Sandaran penat jiwaku
Ku b’ri hidupku pada-Mu
Agar mengalir kasih-Mu
Penuhi hatiku
2
Engkau Allah t’rang hidupku
Kus’rahkan suluh jiwaku
Yang hampir padam dan kelam
Agar sinarku benderang
Di tengah g’lap malam
3
Engkaulah sukacitaku
Di tengah kepedihanku
Bila kulihat pelangi
Tuhan, kuingat janji-Mu
Yang hiburkan hati
4
Kar’na salib-Mu, ya Allah
Ku takkan meninggalkan-Mu
Sampai maut menjemputku
Ku ‘kan t’rima hidup kekal
Di dunia yang baru
O Love That Will Not Let Me Go
1. O Love that will not let me go,
I rest my weary soul in thee;
I give thee back the life I owe,
That in thine ocean depths its flow
May richer, fuller be.
2. O light that followest all my way,
I yield my flickering torch to thee;
My heart restores its borrowed ray,
That in thy sunshines blaze its day
May brighter, fairer be.
3. O Joy that seekest me through pain,
I cannot close my heart to thee;
I trace the rainbow through the rain,
And feel the promise is not vain,
That morn shall tearless be.
4. O Cross that liftest up my head,
I dare not ask to fly from thee;
I lay in dust lifes glory dead,
And from the ground there blossoms red
Life that shall endless be.
Cerpen berdasarkan kisah nyata George Matheson, dengan
selingan lirik
“O Love that will not let me go.”
Kasih yang tak akan pernah melepaskanku.
Langit Glasgow sore itu bagai kain beludru tembaga. George
Matheson duduk di kursi kayu dekat jendela yang dibuka sedikit; angin dingin
merayapi tepi kelopak matanya yang lelah. Ia tidak melihat senja—sudah lama
tidak. Tapi ia “melihat” kenangan: aroma buku di perpustakaan ayahnya, bunyi
pintu depan, langkah-langkah riuh saudari-saudarinya, dan doa ibu yang berbisik
di balik pintu kamar.
Cahaya Kecil di Rumah Besar
“O Light that follow’st all my way.”
Wahai Terang, yang mengiringi seluruh jalanku.
“George, cepat, sekolah!” seru Mary, kakak perempuannya,
dulu sekali.
Anak lelaki berkacamata bundar itu tergagap, memeluk buku
setinggi dagu. Di ruang makan, ayah menyelipkan dua koin ke sakunya. “Beli
pensil,” katanya singkat, tapi matanya bangga. Ibunya menepuk bahunya,
menambahkan: “Dan bawa pulang cerita.”
Cerita—itulah yang menghidupi George. Ia membaca Plato dan
Milton, menggigil kagum di lorong-lorong pemikiran. Namun pada usia lima belas,
huruf-huruf menari menjauh. Cahaya memudar, garis-garis membocor jadi kabut.
Dokter menghela napas panjang: tak ada obat; kebutaan akan datang.
Di rumah, ibunya memegang tangan putranya. “Kau masih bisa
belajar.”
“Apa gunanya jika aku tak bisa melihat?” tanya George,
bibirnya retak oleh takut.
“Belajar mendengar. Belajar mengingat. Belajar percaya.”
Suara ibunya seperti selimut.
Sejak hari itu, saudari-saudarinya bergantian membacakan
buku ke telinganya. George menutup mata—bukan karena menyerah, melainkan
fokus—menghafal kalimat, menata logika dalam ruang yang tak bergambar. Ia
membangun perpustakaan di dalam dirinya.
Cinta di Tepi Clyde
“I rest my weary soul in Thee.”
Jiwaku yang letih beristirahat pada-Mu.
Ia bertemu gadis itu di kampus: senyum sederhana, tawa yang
menenangkan. Mereka berjalan sepanjang Sungai Clyde; air berkilau seperti kaca
pecah di matahari. George menceritakan filsafat, gadis itu membalas dengan
puisi—mereka menanam rencana masa depan di percakapan yang panjang.
Suatu sore, George menghentikan langkah. “Aku harus jujur,”
katanya. “Mataku… sebentar lagi aku mungkin buta sepenuhnya.”
Gadis itu menggenggam jemarinya. Sunyi. Burung camar
melewati kepala mereka, berteriak seperti garis di langit. Lalu, dengan suara
yang patah, gadis itu berbisik: “Aku… aku tak sanggup hidup dengan suami yang
buta.”
Kata-kata itu menggelinding dari bibirnya seperti batu.
Mereka berpisah di tepi sungai. George berjalan pulang, menelusuri jalan tanpa
melihat, tetapi mengerti: kehilangan bisa lebih gelap dari malam.
Di kamarnya, ia berlutut. “Tuhan,” katanya pelan, “jika
semua cinta pergi, jangan Engkau.”
Panggilan di Innellan
“I give Thee back the life I owe.”
Kukembalikan hidup yang kumiliki pada-Mu.
Laut Clyde memantulkan langit abu-abu ketika George tiba di
Innellan, desa kecil yang basah dan wangi garam. Gereja berdiri sederhana;
bangku-bangkunya memeluk jejak doa bertahun-tahun. George ditahbiskan.
Suaranya, yang selalu tenang, mengalun dari mimbar seperti musik kamar—tidak
keras, tapi menyusup ke hati.
Ia belajar “melihat” lewat suara: dengung lilin, batuk
tertahan seorang janda, dengusan anak kecil yang bosan. Setiap rumah yang ia
kunjungi punya musik sendiri: panci mendidih, pintu engsel tua, doa yang
malu-malu. Ia menghafal nama dengan menyentuh cerita.
Suatu hari, seorang perempuan dengan pelindung kepala hitam
datang. “Suamiku hilang di laut.”
“Namanya?” tanya George.
“Angus.” Nama itu pecah di lidahnya, seperti ombak memecah
ke batu.
George meraih tangannya. Kulitnya dingin. “Tuhan tidak
menenggelamkan namanya,” katanya. “Ia mengingat setiap butir pasir.”
Perempuan itu terisak, kepalanya menunduk. Di ruang sempit
itu, hadirat yang tak terlihat berdiri di antara mereka, memanaskan udara.
Membaca Tanpa Mata
“That in Thine ocean depths its flow…”
Agar di samudra-Mu alirnya…
George menulis khotbah-khotbah yang rapi, memintal teologi
dengan pengalaman. Saudari-saudarinya menjadi mata dan tangannya: membacakan
Kitab Suci, mencatatkan draf, memperbaiki ejaan. George mendikte pelan, kata
demi kata, seolah menapak lantai yang bisa retak kapan saja. Ia belajar
‘mendengar’ ciri setiap kata—mana yang berat, mana yang lembut—dan menaruhnya
tepat di tempat masing-masing.
Pada malam-malam sepi, ketika angin mengetuk genting, ia
mengulang Mazmur dalam hati hingga tenang. Kegelapan tidak selalu musuh; kadang
ia hanya selimut yang mengundang orang untuk tidur di pangkuan Allah.
Malam Sebelum Pernikahan
“May richer, fuller be.”
Semoga lebih kaya, lebih penuh.
6 Juni 1882. Rumah pastori seperti kapal—penuh orang, penuh
suara, penuh gerak. Salah satu saudari George akan menikah esok hari. Gaun
putih tergantung di pegangan lemari; wangi sabun mandi berterbangan di lorong.
Tawa naik-turun seperti burung pipit.
George mundur ke kamar atas. Ia duduk. Tongkatnya bersandar
di dinding, jam saku di atas meja berdetak halus. Kebahagiaan di bawah mengalir
ke lantai ini, tapi sampai di hatinya, tiba-tiba mengendap pekat. Ingatan lama
mengetuk: wajah yang dulu dicintainya, suara yang berkata tak sanggup. Ia
memejamkan mata—kebiasaan yang tak lagi perlu, tapi menenangkan.
“Tuhan,” gumamnya, “Engkau tahu semua jalan yang tak mampu
kutempuh.”
Suatu yang lembut—seperti cahaya yang tidak
menyilaukan—menyentuh bagian terdalam dirinya. Kata-kata bangkit, bukan lewat
mata, melainkan dari sumur yang lebih dalam dari air mata. Ia meraba pena,
kertas, dan menulis. Tidak susah payah; tidak diseret—mengalir.
“O Love that will not let me go,”
Kasih yang tak akan melepaskanku,
“I rest my weary soul in Thee.”
Jiwaku yang letih beristirahat pada-Mu.
Empat bait, tak sampai lima menit. Setelah titik terakhir,
George meletakkan pena. Di bawah, tawa masih berloncatan. Di dalam, badai
berhenti. Ia mencondongkan tubuh ke sandaran kursi, mendengarkan detak jam.
Rasanya seperti baru pulang ke rumah—bukan rumah kayu, melainkan rumah yang
dibangun dari janji.
Ketika Jemaat Bernyanyi
“O Joy that seekest me through pain.”
Sukacita yang mencariku melalui duka.
Mula-mula, hanya jemaat Innellan yang menyanyi. Lalu lagu
itu menyeberangi teluk, masuk ke gereja lain, ke kota lain, ke negeri lain.
Orang-orang menyanyikannya di antara kursi duka dan bangku pengharapan.
Kata-kata itu menemukan bibir mereka yang tak punya kalimat untuk patah hati
sendiri.
Seorang pelaut pulang dan tak menemukan rumahnya—terbakar.
Di kebaktian berikutnya, ia berdiri, suaranya pecah, tetapi ia menyanyi.
Seorang ibu yang kehilangan bayi memeluk lengan kursi, mengangkat wajahnya yang
bengkak, dan menyanyi. Bahkan seorang pemuda yang kecewa, yang hendak
meninggalkan gereja, mendadak terdiam saat bait itu lewat di udara, seolah
seseorang menyebut namanya.
Sesudah kebaktian, George duduk sendirian sejenak, mendengar
gema itu turun naik di pilar kayu. Ia berbisik: “Bukan aku.” Lalu menambahkan,
“Tetapi aku bersyukur dipakai.”
Edinburgh, Mimbar yang Lebih Tinggi
“O Cross that liftest up my head.”
Salib yang mengangkat kepalaku.
George dipanggil ke St. Bernard’s Church, Edinburgh.
Bangunannya besar; mimbar lebih tinggi, jemaat lebih banyak. Tetapi cara ia
menyentuh hati tak berubah: pelan, tenang, tepat. Ia menyusun kalimat seperti
tukang kayu menyatukan papan—tanpa pamer, tapi kokoh.
Di ruang konseling, seorang pemuda menggebrak meja kecil.
“Kenapa Tuhan membiarkan aku gagal?”
“Karena kegagalan pintu yang menutup?” tanya George.
“Ya.”
“Kadang pintu yang menutup menyelamatkan kita dari kamar
yang salah.” George tersenyum samar. “Dan Tuhan menunggu di lorong.”
Pemuda itu tertawa getir, lalu diam. Di ujung percakapan, ia
berkata, “Bagaimana Anda memimpin tanpa melihat?”
George menyentuh tongkatnya, sejenak. “Aku diajari menatap
dengan cara lain.” Ia mengetuk dadanya pelan. “Ke sini.”
Menulis dengan Mulut, Membaca dengan Telinga
“I trace the rainbow through the rain.”
Kulacak pelangi di balik hujan.
Buku-buku teologi lahir dari mulut George, bukan dari
tangannya. Ia mendikte pagi-pagi, jeda di siang, lanjut sore.
Saudari-saudarinya menjadi pena yang setia, merawat tanda baca seperti merawat
tanaman. Kadang ia meminta satu kalimat diulang berkali-kali—bukan karena ragu,
melainkan karena ia mencari nada yang tepat.
Sore hari, ia berjalan pelan di halaman, meraba udara yang
wangi tanah basah. Di dunia tanpa gambar, Tuhan mendidiknya membaca pola lain:
timbre suara, berat napas, kecepatan langkah. Dari hal-hal itu, ia menebak
apakah seseorang sedang patah, marah, atau hendak menangis. Dan ia menyiapkan
kata yang sesuai.
Surat dari Jauh
“I dare not ask to fly from Thee.”
Tak berani kupinta terbang dari-Mu.
Surat-surat datang. Dari pulau kecil di Asia—seorang
penginjil menulis bahwa lagunya menjadi pelita di rumah yang hanya punya satu
lilin. Dari Amerika—seorang perempuan di bangku kayu Dakota menulis bahwa bait
ketiga menyelamatkannya dari niat putus asa. Dari pelaut—dari janda—dari
pendeta—dari pelajar.
George membaca lewat telinga—saudarinya mengucapkan setiap
kata. Ia menyimpan beberapa, membalas beberapa. Yang tak ia balas, ia doakan.
Doa-doa itu seperti kapal kertas kecil yang ia letakkan di sungai, percaya akan
tiba entah ke pantai siapa.
Senja, Saat Jam Lebih Jelas
“From morn to night, Thy mercies keep.”
Dari pagi ke malam, rahmat-Mu memelihara.
Seiring tubuhnya melemah, ritme harinya mengerucut:
doa—mendikte—menerima—mendoakan—istirahat. Ia menua seperti kota tua yang masih
menyimpan aroma roti pagi. Kadang-kadang ia tertawa saat orang menyangka ia
sendu. “Aku tak sedih,” katanya suatu kali, “aku hanya menghemat kata.”
Pada suatu sore yang panjang, ia duduk di kursi dekat
jendela yang tak lagi ia lihat. Dari bawah, anak-anak berlari, menjerit kecil.
Dari gereja, suara latihan paduan suara merayap ke dinding—bait lagunya,
dinyanyikan oleh generasi yang tak pernah melihat wajahnya.
Ia menutup mata—kebiasaan lama—dan mengulang pelan: “Kasih
yang tak pernah melepaskanku…” Bibirnya membentuk senyum yang hampir tak
terlihat.
Keheningan yang Tidak Kosong
“Life shall endless be.”
Hidup akan tak berkesudahan.
28 Agustus 1906. Pagi melayat hingga sore. George berbaring
tenang; di lehernya, nadi seolah sudah menulis kalimat terakhir. Kabar
berpindah dari mulut ke mulut, lalu ke koran, lalu ke negeri-negeri lain.
Jemaat berkumpul, bukan untuk meratap yang bising, tetapi untuk berterima
kasih: atas suara seorang gembala yang membuat mereka tahan berdiri di badai.
Di udara, lagunya tinggal sebagai jejak—mirip aroma yang
tersisa setelah seseorang lewat: tidak terlihat, tapi terbukti. Dan orang-orang
yang pernah menyanyi kini menyadari, selama ini mereka tidak sekadar menyanyi
bait milik seorang penulis; mereka sedang menyanyikan doa yang, entah
bagaimana, juga milik mereka sendiri.
Warisan yang Mengalir
“O Love that will not let me go.”
Kasih yang tak akan melepaskanku.
Bertahun-tahun setelahnya, di gereja yang jauh, seorang
anak—yang tidak tahu siapa George Matheson—mendengar ibunya menyanyikan bait
pertama di dapur. Anak itu bertanya, “Itu lagu siapa?”
Ibunya mengangkat bahu. “Seorang yang mengerti bahwa Tuhan
tidak pergi.” Lalu melanjutkan pekerjaan: mengaduk sup, mengetuk sendok,
menutup panci. Uap naik; lagu tinggal melayang di langit-langit.
Di penjuru lain, seorang pendeta yang letih berdiri di
mimbar kosong. Ia tak punya kata. Lalu, seperti tangan yang ringan, bait itu
menyentuh bibirnya; ia mengucapkannya pelan, dan kata-kata lain menyusul.
Jemaat pulang membawa sesuatu yang tidak mereka sadari: keberanian kecil untuk
besok.
Dan di suatu sore yang lain lagi, seorang penulis muda—yang
belum pernah melihat pegunungan tanpa kabut—membaca kisah pria buta yang
menulis doa tercepat sepanjang hidupnya. Ia menutup buku, menatap jendela, dan
entah mengapa yakin: bila cahaya memudar, bukan berarti halaman cerita selesai.
Terkadang, persis saat itu—di tepi kegelapan—pena menemukan kalimat terbaiknya.