Hi, all readers!
How are you all doing? Hopefully, you all are good, healthy, and safe.
Kali ini aku dibantu oleh Chatgpt menulis sebuah kisah yang aku suka banget. Karena ini adalah cerita tentang seorang penulis himne yang aku suka banget. Mau bahasa Inggris atau Indonesia yang ada di buku lagu gereja, sama-sama aku suka. Apa lagi yang ada di buku lagu gereja Advent, aku suka banget kata-katanya. Aku akan taruh di sini lirik lagu dari Lagu Sion dan buat yang Advent silahkan lihat nadanya di Lagu Sion ya. Selamat membaca! 🙏😇
Cerpen berdasarkan kisah nyata George Matheson, dengan selingan lirik
“O Love that will not let me go.”
Kasih yang tak akan pernah melepaskanku.
Langit Glasgow sore itu bagai kain beludru tembaga. George Matheson duduk di kursi kayu dekat jendela yang dibuka sedikit; angin dingin merayapi tepi kelopak matanya yang lelah. Ia tidak melihat senja—sudah lama tidak. Tapi ia “melihat” kenangan: aroma buku di perpustakaan ayahnya, bunyi pintu depan, langkah-langkah riuh saudari-saudarinya, dan doa ibu yang berbisik di balik pintu kamar.
Cahaya Kecil di Rumah Besar
“O Light that follow’st all my way.”
Wahai Terang, yang mengiringi seluruh jalanku.
“George, cepat, sekolah!” seru Mary, kakak perempuannya, dulu sekali.
Anak lelaki berkacamata bundar itu tergagap, memeluk buku setinggi dagu. Di ruang makan, ayah menyelipkan dua koin ke sakunya. “Beli pensil,” katanya singkat, tapi matanya bangga. Ibunya menepuk bahunya, menambahkan: “Dan bawa pulang cerita.”
Cerita—itulah yang menghidupi George. Ia membaca Plato dan Milton, menggigil kagum di lorong-lorong pemikiran. Namun pada usia lima belas, huruf-huruf menari menjauh. Cahaya memudar, garis-garis membocor jadi kabut. Dokter menghela napas panjang: tak ada obat; kebutaan akan datang.
Di rumah, ibunya memegang tangan putranya. “Kau masih bisa belajar.”
“Apa gunanya jika aku tak bisa melihat?” tanya George, bibirnya retak oleh takut.
“Belajar mendengar. Belajar mengingat. Belajar percaya.” Suara ibunya seperti selimut.
Sejak hari itu, saudari-saudarinya bergantian membacakan buku ke telinganya. George menutup mata—bukan karena menyerah, melainkan fokus—menghafal kalimat, menata logika dalam ruang yang tak bergambar. Ia membangun perpustakaan di dalam dirinya.
Cinta di Tepi Clyde
“I rest my weary soul in Thee.”
Jiwaku yang letih beristirahat pada-Mu.
Ia bertemu gadis itu di kampus: senyum sederhana, tawa yang menenangkan. Mereka berjalan sepanjang Sungai Clyde; air berkilau seperti kaca pecah di matahari. George menceritakan filsafat, gadis itu membalas dengan puisi—mereka menanam rencana masa depan di percakapan yang panjang.
Suatu sore, George menghentikan langkah. “Aku harus jujur,” katanya. “Mataku… sebentar lagi aku mungkin buta sepenuhnya.”
Gadis itu menggenggam jemarinya. Sunyi. Burung camar melewati kepala mereka, berteriak seperti garis di langit. Lalu, dengan suara yang patah, gadis itu berbisik: “Aku… aku tak sanggup hidup dengan suami yang buta.”
Kata-kata itu menggelinding dari bibirnya seperti batu. Mereka berpisah di tepi sungai. George berjalan pulang, menelusuri jalan tanpa melihat, tetapi mengerti: kehilangan bisa lebih gelap dari malam.
Di kamarnya, ia berlutut. “Tuhan,” katanya pelan, “jika semua cinta pergi, jangan Engkau.”
Panggilan di Innellan
“I give Thee back the life I owe.”
Kukembalikan hidup yang kumiliki pada-Mu.
Laut Clyde memantulkan langit abu-abu ketika George tiba di Innellan, desa kecil yang basah dan wangi garam. Gereja berdiri sederhana; bangku-bangkunya memeluk jejak doa bertahun-tahun. George ditahbiskan. Suaranya, yang selalu tenang, mengalun dari mimbar seperti musik kamar—tidak keras, tapi menyusup ke hati.
Ia belajar “melihat” lewat suara: dengung lilin, batuk tertahan seorang janda, dengusan anak kecil yang bosan. Setiap rumah yang ia kunjungi punya musik sendiri: panci mendidih, pintu engsel tua, doa yang malu-malu. Ia menghafal nama dengan menyentuh cerita.
Suatu hari, seorang perempuan dengan pelindung kepala hitam datang. “Suamiku hilang di laut.”
“Namanya?” tanya George.
“Angus.” Nama itu pecah di lidahnya, seperti ombak memecah ke batu.
George meraih tangannya. Kulitnya dingin. “Tuhan tidak menenggelamkan namanya,” katanya. “Ia mengingat setiap butir pasir.”
Perempuan itu terisak, kepalanya menunduk. Di ruang sempit itu, hadirat yang tak terlihat berdiri di antara mereka, memanaskan udara.
Membaca Tanpa Mata
“That in Thine ocean depths its flow…”
Agar di samudra-Mu alirnya…
George menulis khotbah-khotbah yang rapi, memintal teologi dengan pengalaman. Saudari-saudarinya menjadi mata dan tangannya: membacakan Kitab Suci, mencatatkan draf, memperbaiki ejaan. George mendikte pelan, kata demi kata, seolah menapak lantai yang bisa retak kapan saja. Ia belajar ‘mendengar’ ciri setiap kata—mana yang berat, mana yang lembut—dan menaruhnya tepat di tempat masing-masing.
Pada malam-malam sepi, ketika angin mengetuk genting, ia mengulang Mazmur dalam hati hingga tenang. Kegelapan tidak selalu musuh; kadang ia hanya selimut yang mengundang orang untuk tidur di pangkuan Allah.
Malam Sebelum Pernikahan
“May richer, fuller be.”
Semoga lebih kaya, lebih penuh.
6 Juni 1882. Rumah pastori seperti kapal—penuh orang, penuh suara, penuh gerak. Salah satu saudari George akan menikah esok hari. Gaun putih tergantung di pegangan lemari; wangi sabun mandi berterbangan di lorong. Tawa naik-turun seperti burung pipit.
George mundur ke kamar atas. Ia duduk. Tongkatnya bersandar di dinding, jam saku di atas meja berdetak halus. Kebahagiaan di bawah mengalir ke lantai ini, tapi sampai di hatinya, tiba-tiba mengendap pekat. Ingatan lama mengetuk: wajah yang dulu dicintainya, suara yang berkata tak sanggup. Ia memejamkan mata—kebiasaan yang tak lagi perlu, tapi menenangkan.
“Tuhan,” gumamnya, “Engkau tahu semua jalan yang tak mampu kutempuh.”
Suatu yang lembut—seperti cahaya yang tidak menyilaukan—menyentuh bagian terdalam dirinya. Kata-kata bangkit, bukan lewat mata, melainkan dari sumur yang lebih dalam dari air mata. Ia meraba pena, kertas, dan menulis. Tidak susah payah; tidak diseret—mengalir.
“O Love that will not let me go,”
Kasih yang tak akan melepaskanku,
“I rest my weary soul in Thee.”
Jiwaku yang letih beristirahat pada-Mu.
Empat bait, tak sampai lima menit. Setelah titik terakhir, George meletakkan pena. Di bawah, tawa masih berloncatan. Di dalam, badai berhenti. Ia mencondongkan tubuh ke sandaran kursi, mendengarkan detak jam. Rasanya seperti baru pulang ke rumah—bukan rumah kayu, melainkan rumah yang dibangun dari janji.
Ketika Jemaat Bernyanyi
“O Joy that seekest me through pain.”
Sukacita yang mencariku melalui duka.
Mula-mula, hanya jemaat Innellan yang menyanyi. Lalu lagu itu menyeberangi teluk, masuk ke gereja lain, ke kota lain, ke negeri lain. Orang-orang menyanyikannya di antara kursi duka dan bangku pengharapan. Kata-kata itu menemukan bibir mereka yang tak punya kalimat untuk patah hati sendiri.
Seorang pelaut pulang dan tak menemukan rumahnya—terbakar. Di kebaktian berikutnya, ia berdiri, suaranya pecah, tetapi ia menyanyi. Seorang ibu yang kehilangan bayi memeluk lengan kursi, mengangkat wajahnya yang bengkak, dan menyanyi. Bahkan seorang pemuda yang kecewa, yang hendak meninggalkan gereja, mendadak terdiam saat bait itu lewat di udara, seolah seseorang menyebut namanya.
Sesudah kebaktian, George duduk sendirian sejenak, mendengar gema itu turun naik di pilar kayu. Ia berbisik: “Bukan aku.” Lalu menambahkan, “Tetapi aku bersyukur dipakai.”
Edinburgh, Mimbar yang Lebih Tinggi
“O Cross that liftest up my head.”
Salib yang mengangkat kepalaku.
George dipanggil ke St. Bernard’s Church, Edinburgh. Bangunannya besar; mimbar lebih tinggi, jemaat lebih banyak. Tetapi cara ia menyentuh hati tak berubah: pelan, tenang, tepat. Ia menyusun kalimat seperti tukang kayu menyatukan papan—tanpa pamer, tapi kokoh.
Di ruang konseling, seorang pemuda menggebrak meja kecil. “Kenapa Tuhan membiarkan aku gagal?”
“Karena kegagalan pintu yang menutup?” tanya George.
“Ya.”
“Kadang pintu yang menutup menyelamatkan kita dari kamar yang salah.” George tersenyum samar. “Dan Tuhan menunggu di lorong.”
Pemuda itu tertawa getir, lalu diam. Di ujung percakapan, ia berkata, “Bagaimana Anda memimpin tanpa melihat?”
George menyentuh tongkatnya, sejenak. “Aku diajari menatap dengan cara lain.” Ia mengetuk dadanya pelan. “Ke sini.”
Menulis dengan Mulut, Membaca dengan Telinga
“I trace the rainbow through the rain.”
Kulacak pelangi di balik hujan.
Buku-buku teologi lahir dari mulut George, bukan dari tangannya. Ia mendikte pagi-pagi, jeda di siang, lanjut sore. Saudari-saudarinya menjadi pena yang setia, merawat tanda baca seperti merawat tanaman. Kadang ia meminta satu kalimat diulang berkali-kali—bukan karena ragu, melainkan karena ia mencari nada yang tepat.
Sore hari, ia berjalan pelan di halaman, meraba udara yang wangi tanah basah. Di dunia tanpa gambar, Tuhan mendidiknya membaca pola lain: timbre suara, berat napas, kecepatan langkah. Dari hal-hal itu, ia menebak apakah seseorang sedang patah, marah, atau hendak menangis. Dan ia menyiapkan kata yang sesuai.
Surat dari Jauh
“I dare not ask to fly from Thee.”
Tak berani kupinta terbang dari-Mu.
Surat-surat datang. Dari pulau kecil di Asia—seorang penginjil menulis bahwa lagunya menjadi pelita di rumah yang hanya punya satu lilin. Dari Amerika—seorang perempuan di bangku kayu Dakota menulis bahwa bait ketiga menyelamatkannya dari niat putus asa. Dari pelaut—dari janda—dari pendeta—dari pelajar.
George membaca lewat telinga—saudarinya mengucapkan setiap kata. Ia menyimpan beberapa, membalas beberapa. Yang tak ia balas, ia doakan. Doa-doa itu seperti kapal kertas kecil yang ia letakkan di sungai, percaya akan tiba entah ke pantai siapa.
Senja, Saat Jam Lebih Jelas
“From morn to night, Thy mercies keep.”
Dari pagi ke malam, rahmat-Mu memelihara.
Seiring tubuhnya melemah, ritme harinya mengerucut: doa—mendikte—menerima—mendoakan—istirahat. Ia menua seperti kota tua yang masih menyimpan aroma roti pagi. Kadang-kadang ia tertawa saat orang menyangka ia sendu. “Aku tak sedih,” katanya suatu kali, “aku hanya menghemat kata.”
Pada suatu sore yang panjang, ia duduk di kursi dekat jendela yang tak lagi ia lihat. Dari bawah, anak-anak berlari, menjerit kecil. Dari gereja, suara latihan paduan suara merayap ke dinding—bait lagunya, dinyanyikan oleh generasi yang tak pernah melihat wajahnya.
Ia menutup mata—kebiasaan lama—dan mengulang pelan: “Kasih yang tak pernah melepaskanku…” Bibirnya membentuk senyum yang hampir tak terlihat.
Keheningan yang Tidak Kosong
“Life shall endless be.”
Hidup akan tak berkesudahan.
28 Agustus 1906. Pagi melayat hingga sore. George berbaring tenang; di lehernya, nadi seolah sudah menulis kalimat terakhir. Kabar berpindah dari mulut ke mulut, lalu ke koran, lalu ke negeri-negeri lain. Jemaat berkumpul, bukan untuk meratap yang bising, tetapi untuk berterima kasih: atas suara seorang gembala yang membuat mereka tahan berdiri di badai.
Di udara, lagunya tinggal sebagai jejak—mirip aroma yang tersisa setelah seseorang lewat: tidak terlihat, tapi terbukti. Dan orang-orang yang pernah menyanyi kini menyadari, selama ini mereka tidak sekadar menyanyi bait milik seorang penulis; mereka sedang menyanyikan doa yang, entah bagaimana, juga milik mereka sendiri.
Warisan yang Mengalir
“O Love that will not let me go.”
Kasih yang tak akan melepaskanku.
Bertahun-tahun setelahnya, di gereja yang jauh, seorang anak—yang tidak tahu siapa George Matheson—mendengar ibunya menyanyikan bait pertama di dapur. Anak itu bertanya, “Itu lagu siapa?”
Ibunya mengangkat bahu. “Seorang yang mengerti bahwa Tuhan tidak pergi.” Lalu melanjutkan pekerjaan: mengaduk sup, mengetuk sendok, menutup panci. Uap naik; lagu tinggal melayang di langit-langit.
Di penjuru lain, seorang pendeta yang letih berdiri di mimbar kosong. Ia tak punya kata. Lalu, seperti tangan yang ringan, bait itu menyentuh bibirnya; ia mengucapkannya pelan, dan kata-kata lain menyusul. Jemaat pulang membawa sesuatu yang tidak mereka sadari: keberanian kecil untuk besok.
Dan di suatu sore yang lain lagi, seorang penulis muda—yang belum pernah melihat pegunungan tanpa kabut—membaca kisah pria buta yang menulis doa tercepat sepanjang hidupnya. Ia menutup buku, menatap jendela, dan entah mengapa yakin: bila cahaya memudar, bukan berarti halaman cerita selesai. Terkadang, persis saat itu—di tepi kegelapan—pena menemukan kalimat terbaiknya.
No comments:
Post a Comment